Gugus Pulau atau Kepulauan?, DOB MAKAYOA Menimbang Ulang Identitas Wilayahnya

Sebarkan:
Oleh: Asmar Hi. Daud

Perdebatan soal nama “Gugus Pulau MAKAYOA” atau “MAKAYOA Kepulauan” dalam usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) MAKAYOA masih hangat dibicarakan, bahkan setelah deklarasi resmi pada 8 Juni 2025 kemarin.

Persoalan ini bisa dimaklumi, karena dalam praktik pemerintahan, negara lebih akrab dengan istilah “kepulauan” ketimbang “gugus pulau”. Tapi jangan salah—perdebatan ini bukan sekadar soal nama, melainkan soal jati diri – identitas, cara pandang terhadap pembangunan, dan arah tata kelola wilayah kepulauan.

Pilihan penamaan yang tepat sangat menentukan narasi otonomi yang ingin kita bangun. Dan tentu ini bukan sekedar soal teknis. Ia akan membentuk cara negara memandang wilayah MAKAYOA sebagai sekadar kumpulan pulau-pulau, atau sebagai sebuah sistem sosial dan ekologis yang saling terhubung.

Dalam konteks ini, perlu diperjelas perbedaan antara dua istilah yang sering digunakan dalam pembahasan: MAKAYOA Island Cluster dan MAKAYOA Archipelago. Keduanya memiliki makna yang berbeda dan mencerminkan pendekatan yang berbeda pula terhadap wilayah kepulauan.

MAKAYOA Island Cluster, yang secara harfiah berarti “Gugus Pulau MAKAYOA”, menunjuk pada kesatuan pulau-pulau kecil yang saling terhubung secara sosial, geografis, ekologis dan administratif.

Konsep ini menekankan pentingnya hubungan fungsional antar pulau—baik dalam pelayanan publik, solidaritas sosial, maupun pergerakan ekonomi dan budaya.

Dalam konteks DOB, istilah ini sangat relevan karena menyoroti kebutuhan akan tata kelola yang terdesentralisasi namun saling terhubung. MAKAYOA Island Cluster bukan hanya kumpulan pulau, mereka adalah ekosistem sosial, administratif, dan ekologis yang hidup dan saling bergantung.

Sebaliknya, istilah MAKAYOA Archipelago bersifat lebih umum dan geografis. Ia sekadar menunjukkan bahwa wilayah tersebut terdiri dari banyak pulau, tanpa menekankan keterhubungan antar pulau tersebut.

Pendekatan Archipelago cocok untuk konteks promosi pariwisata, eksplorasi sumber daya alam, atau deskripsi topografis, tetapi kurang tepat untuk narasi DOB yang memerlukan legitimasi sosial dan kelembagaan yang kuat.

Archipelago hanya menampilkan keberadaan fisik, sementara Cluster menekankan keterkaitan fungsional.

Dengan demikian, istilah MAKAYOA Island Cluster (Gugus Pulau MAKAYOA) jauh lebih tepat digunakan dalam dokumen resmi dan narasi kebijakan DOB. Hal ini menegaskan bahwa wilayah MALAYOA tidak hanya tersebar, tetapi juga saling terhubung dan membutuhkan tata kelola yang responsif terhadap kompleksitas konektivitas antar pulau.

Lebih jauh, pemilihan istilah “Gugus Pulau MAKAYOA” sejalan dengan kerangka hukum nasional dan internasional. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan UNCLOS 1982 Pasal 46 mendefinisikan negara kepulauan sebagai kesatuan wilayah laut dan gugusan pulau yang saling terhubung. UU No. 23 Tahun 2014 juga memberikan dasar untuk pembentukan DOB berbasis kekhususan geografis dan sosiologis.

Secara sosial, masyarakat Makian, Kayoa, dan Kasiruta, telah sejak lama hidup dalam bingkai dan atau jaringan solidaritas maritim. Perdagangan antar pulau, praktik budaya lintas desa, hingga sistem perikanan tradisional semuanya menunjukkan bahwa Gugus Pulau MAKAYOA adalah wilayah hidup yang saling bertaut.

Tidak ada satu pulau yang hidup sepenuhnya sendiri. Maka, pembangunan ke depan harus berbasis pada pengakuan terhadap keterhubungan. Ini bukan geografi pasif, melainkan adalah jaringan hidup.

Sebaliknya, jika kita memilih nama “MAKAYOA Kepulauan” (MAKAYOA Archipelago), kita berisiko menyederhanakan kompleksitas menjadi sekadar peta geografis. Ini akan berdampak pada arah kebijakan yang kurang sensitif terhadap tantangan spesifik wilayah gugus pulau: keterbatasan akses transportasi laut, kebutuhan pelayanan dasar terpadu, hingga kerentanan ekologis akibat aktivitas ekstraktif, abarasi dan perubahan iklim.

Penggunaan nama “MAKAYOA Kepulauan” akan kehilangan makna kontekstual. Ia menyederhanakan identitas yang kaya menjadi hanya kumpulan pulau, mengaburkan relasi sosial-ekologis yang penting dalam menyusun kebijakan berbasis wilayah laut dan pesisir.

Akhirnya, nama adalah pernyataan politik. Nama adalah narasi yang tidak sekedar merekam sejarah dan menuntun masa depan, lebih dari itu, nama membentuk persepsi, arah kebijakan, dan pengakuan identitas.

Maka, memilih “Gugus Pulau MAKAYOA” sebagai nama resmi DOB bukan hanya pilihan narasi, tetapi langkah strategis untuk membangun otonomi yang relevan, kontekstual, dan berkelanjutan.

Gugus Pulau MAKAYOA bukan hanya soal identitas tapi adalah entitas yang hidup, bersejarah, dan layak mendapat pengakuan utuh oleh  Negara atas kekhasan wilayahnya.**


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini