Banau dan Sikuru; Pahlawan Pergerakan Nasional Dari Halmahera Barat

Sebarkan:

Refleksi Mengenang Hari Pahlawan Nasional 10 November 2021

Oleh ; Mustafa Mansur
Dosen pada Program Studi Ilmu Sejarah dan Program Studi Usaha Perjalanan Wisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun

Pada umumnya, orang menganggap bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang dimulai pada 1908, cenderung mengkaitkan dengan peran tokoh-tokoh pada level atas. Hal ini tidaklah berlebihan karena tokoh-tokoh itu telah mendapat tempat dalam panggung sejarah Indonesia, sehingga wajar kalau tokoh-tokoh itu menjadi lebih dikenal. Adapun gagasan-gagasan para tokoh itu diwujudkan dalam tataran paragmatis berbentuk pergerakan nasional. Dalam konteks itu, upaya untuk membangun civic nationalism  diwujudkan melalui pembentukan organisasi sebagai alat perjuangan melawan penjajahan Belanda. Organisasi-organisasi yang dibentuk pada saat itu di antaranya: Budi Utomo (BO), Indische Partij (IP), dan Saerakat Islam (SI). Budi Utomo dipandang sebagai organisasi pribumi pertama yang telah menunjukkan syarat-syarat organisasi dalam pengertian modern.

Sepak terjang para tokoh di atas, membuat ada juga yang masih beranggapan bahwa bahwa  nasionalislme itu pun hanya terdapat di Pulau Jawa, kecuali ketika menjelang Sumpah Pemuda pada 1928, perhatian kita kemudian memandang unsur luar Jawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari semangat nasionalisme. Hal ini ditandai dengan berkumpulnya organisasi-organisasi pemuda dari Jawa dan luar Jawa. Namun, tidak banyak orang mengetahui bahwa pada 1909 terdapat suatu gerakan berciri nasional terjadi di Loloda bagian barat Halmahera Maluku Utara. Kondisi ini dapat dilihat dari perlawanan sebagian kelompok masyarakat di Loloda pada 1909 yang dipimpin oleh Kapita Sikuru terhadap penerapan sistem kerja paksa (rodi) dan sistem pajak diri (belasting) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sementara di Jailolo, peristiwa serupa terjadi pada tahun 1914 dibawah pimpinan Kapita Banau.

Perlawanan kelompok masyarakat di Loloda dan di Jailolo tersebut memperlihatkan adanya pengaruh nasionalisme di Pulau Jawa. Pengaruh ini tidak bisa dikatakan secara langsung, mengingat jarak antara Pulau Jawa dan Halmahera-Maluku Utara sangatlah jauh. Kondisi ini tidak memungkinkan sistem komunikasi terbangun pada saat itu. Namun demikian, dapat dikatakan pengaruh nasionalisme itu terilhami melalui kesadaran yang sama, di mana adanya kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan suatu bangsa.

Selain itu, perlawanan sekelompok masyarakat di Loloda dan Jailolo juga sekaligus menunjukkan bahwa sistem pasifikasi atau kebijakan Pax Nederlandica yang dianggap mencapai puncak setelah Perang Ace (1904) dan Perang Bone (1906), ternyata masih menimbulkan gejolak di bagian lain di wilayah Hindia Belanda seperti di Loloda dan Jailolo Maluku Utara. Pax Nederlandica yaitu pasifikasi terhadap daerah-daerah di luar Jawa menjadi satu wilayah damai Hindia Belanda. Periode ini adalah tahap terakhir dari perlawanan agraris, yang terjadi pada banyak daerah di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera, terhadap pemerintah dan negara kolonial. Dengan sistem pasifikasi ini diharapkan seluruh wilayah Hindia Belanda berada dalam satu yurisdiksi politik Hindia Belanda.

Perlawanan yang dipimpin oleh Sikuru dan Banau di atas juga menunjukkan bahwa perjuangan fisik dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia telah terjadi sebelum melawan pendudukan Tentara Jepang. Dari perjuangan fisik ini, memperlihatkan bentuk perlawanan yang sama terhadap bentuk penjajahan sebelum abad ke-20. Perlawanan Sultan Baabullah dalam mengusir penjajahan Portugis di Maluku, Perjuangan Pangeran Nuku dari Tidore dalam melawan Kompeni Belanda, Perang Patimura, pemberontakan Pangeran Diponegoro, merupakan beberapa dari sekian banyak bentuk perlawanan terhadap penjajahan Asing di Indonesia sebelum abad ke-20.

Perjuangan Banau sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat di Maluku Utara, karena nama Banau telah diabadikan dalam berbagai memori kolektif masyarakat di Maluku Utara, seperti penggunaan nama jalan (Jalan Banau di Jailolo) nama institusi pendidikan (SMP Banau Ternate, STPK Banau di Jailolo, dan Aula Banau Unkhair). Dalam institusi miliiter nama Banau dikultuskan dengan nama Yonif 732 Banau. Namun, semua ini hanya dianggap sebagai figuran saja dan dijadikan warisan sejarah yang tak terganggu gugat. Dengan demikian upaya rekonstruksi sejarah kepahlawanan Banau merupakan kesadaran sejarah yang mesti menjadi keniscayaan.

Sementara untuk Sikuru, namanya belum familiar di kalangan masayarakat Maluku Utara, apalagi Indonesia pada umumnya. Nama Sikuru baru terbatas dikenang dalam memori kolektif masyarakat Loloda yang diabadikan dalam berbagai tradisi lisan di Loloda. Dalam catatan kolonial, peristiwa perlawanan kelompok masyarakat yang dipimpi oleh Sikuru diabadikan dalam laporan Kolonial Verslag tahun 1909.

Saat ini penelitian dan penulisan kepahlawanan Sikuru telah dilakukan oleh Tim Riset dari Universitas Indonesia yang berafiliasi dengan Tim Riset Unkhair, dan telah dipresentasikan dalam konfrensi nasioal dan internasional, bahkan artikel tersebut sudah menunggu publikasi jurnal internasional yang terindeks scopus.

Apa urgensinya?

Sejak awal berdirinya Republik ini, para The Founding Father agaknya menyadari sepenuhnya bahwa proses membangun Indonesia (nastional building) sesungguhnya merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan. Bung Karno misalnya dalam bukunya “Dibawa Bendera Revolusi”, mengatakan bahwa membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalsisme yang menggerakan “suatu itikad satu keinsafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa”. Dengan mengacu pendapat Ernes Renan, Bung Karno kembali mengatakan bahwa keberadaan suatu bangsa hanya mungkin terjadi bila ia memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan riwayat, dan sekarang memiliki kemauan atau keinginan hidup menjadi satu bangsa itu, dasarnya bukan nasionalisme sempit atas kesatuan ras, bahasa, agama, persamaan tubuh ataupun sekedar batas-batas negeri, namun lebih didasarkan pada nasionalisme yang longgar, nasionalisme yang luhur, nasionalisme yang mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia dan yang mengutamakan persahabatan dengan semua kelompok secara inklusif.

Jadi rasa kebangsaan, rasa nasionalisme (civic nastionalism) yaitu loyalitas terhadap seperangkat cita-cita kemerdekaan yang adil dan efektif dalam bingkai negara. Rasa kebangsaan sesungguhnya dapat menguat dan melemah bahkan dapat hilang sama sekali tergantung bagaimana mengelolahnya.

Proses perwujudan kemerdekaan Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara yang konstruktif dan dinamis. Salah satunya adalah menghargai jasa-jasa para pejuang bangsa dalam mempertahankan dan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Penghargaan negara terhadap para pejuang bangsa telah dipatrikan melalui “Hari Pahlawan Nasional” yang diperingati setiap tanggal 10 November. Banyak tokoh-tokoh di Republik ini yang dikenang sebagai Pahlawan Nasional, seperti : Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Pattimura dan lain sebagainya.

Di Maluku Utara terdapat beberapa tokoh yang memiliki andil besar dalam membangun solidaritas kebangsaan. Sebut saja Sultan Khairun, Sultan Baabullah dan Boki Nukila yang menentang kekuasaan Portugis di Maluku, serta Pangeran Nuku, Sikuru dan Banau yang melawan penjajahan Kolonial Belanda.

Dari beberapa tokoh di atas baru Sultan Nuku yang telah dianugerahi Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, nomor: 071/TK/1995 tanggal 17 Agustus 1995, dan Sultan Babullah yang dianugerahi Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, nomor: 117/TK/2020 tanggal 6 November 2020. Padahal baik Nuku, Babullah, Sikuru, maupun Banau, keempatnya telah membangun kekuatan emosional dalam melawan praktek-praktek Imprealisme dan Kolonialisme Belanda di Maluku Utara.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, diskurusus kepahlawanan Sikuru dan Banau mesti dimaknai sebagai ikhtiar untuk menemukan kembali Indonesia (reveinting Indonesia) di tengah-tengan ancaman dis-integarsi bangsa. Setidaknya kepahlawanan Sikuru dan Banau telah menunjukkan jiwa patriotisnya untuk membela tanah air dan bangsanya.

Ancaman dis-integrasi bangsa yang mencuak selama ini sesungguhnya bersumber dari akumulasi kekecewaan rakyat di daerah terhadap arah dan kecenderungan pembangunan yang memarginalkan peran dan kontribusi masyarakat lokal yang mengabaikan rasa keadilan.

Lahirnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur sistem sentralisasi kekuasaan, kemudian mendistorsi nilai-nilai historis dan kultural masyarakat di daerah yang merupakan kekhasaan dan identitas daerah, yang oleh Hasan M. Tiro (1958) menyebut sebagai proses men-Jawani-sasi Indonesia bukan nasionalisme Indonesia. Dalam bahasa yang lain Alexander Abe (2002) menyebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai pluralitas bangsa.

Semangat nasionalisme Indonesia kemudian mengalami masalah yang lebih serius setelah dicetuskannya reformasi tahun 1998. Kondisi ini bisa dilihat dari lepasnya Timur-Timor dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), munculnya Gerakan Ace Merdeka (GAM), Irian Jaya (Rakyat Papua) yang ingin menuntut keadilan ekonomi dan pemerataan pembangunan dengan semangat Organisasi Papua Merdeka (OPM). Demikian juga dengan pergolakan sosial yang terjadi di Maluku, Maluku Utara, Sambas dan Poso, semuanya merupakan kekecewaan rakyat di daerah terhadap gagalnya Pemerintah melaksanakan konsep negara yang namanya Indonesia.

Fenomena bangsa sebagaimana yang digambarkan di atas, mestinya menjadi perhatian serius Pemerintah dan segenap komponen bangsa untuk Indonesia saat ini dan masa depan. Oleh karena itu reveinting Indonesia dengan merekonstruksi nilai-nilai kejuangan Sikuru dan Banau merupakan pilihan cerdas sebagai upaya penyelamatan nation state. Urgensi ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, melainkan sebuah keniscayaan sejarah. Sebagai penghubung masa lalu, sejarah telah memperlihatkan sosok seorang Sikuru dan Banau sebagai Pahlawan yang telah mengorbankan jiwa-raganya untuk cita-cita kemerdekan Indonesia. Lebih-lebihnya  perjuangan Sikuru dan Banau dilakukan pada masa Pergerakan Nasional.

Perjuangan Sikuru dan Banau dalam fakta historis sesungguhnya dipengaruh oleh sentimen nasionalisme dan patut mendapat tempat yang layak dalam panggung sejarah Indonesia. Sosok sebagai seorang pemimpin dan patriot, Sikuru dan Banau sesungguhnya telah mendarma-baktikan jiwa-raganya untuk membela tanah air Indonesia. Setidaknya mereka telah memimpin sebuah gerakan perjuangan melawan penjajahan Kolonial Belanda di Loloda pada 1909, dan di Jailolo pada 1914. Keduanya gugur sebagai Pahlawan.*

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini