Quo Vadis Perikanan Maluku Utara

Sebarkan:

Oleh: Baster Douglas. Kareng
Kader Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia

Adagium “ayam mati di lumbung padi” mungkin tepat untuk mendefinisikan sektor perikanan Maluku Utara. Bak kapal yang kehilangan arah di samudera raya, teruskah berlayar tanpa arah ataukah memutar arah kembali dan bingung entah kemana. Berbagai serpihan kebijakan telah diagregasikan. Namun, semuanya seperti terjebak dalam labirin kebijakannya sendiri. Sudah banyak informasi yang beredar di berbagai media bahwa pemerintah pusat mulai mendorong ekonomi kelautan melalui kesepakatan bersama enam Gubernur termasuk, Gubernur Maluku Utara. Sebagai Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang mengedepankan aspek ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya, dimana untuk menghindari over fishing harus ada ukuran mendasar dan terukur dalam penangkapan ikan.

Tentu, ada harapan besar bagi bangkitnya sektor perikanan di Maluku Utara karena provinsi ini digadang-gadang sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Sayangnya ini hanya sebuah janji manis yang tak kunjung diwujudkan. Pupus harapan dalam menjadikan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional ketika melihat fakta sektor perikanan ini terus tergerus. Seperti berdiri di atas kaki dua, namun tak mampu menegakkan kepala. Hanya sebuah paradox. Data Badan Pusat Statistik Maluku Utara (2020), menunjukan bahwa Nilai Tukar Nelayan (NTN) sepanjang tahun ini di Maluku Utara hanya mencapai 97.30. Sementara nilai tukar pembudidaya ikan sedikit masih lebih baik, dimana mencapai 100.68. Berdasarkan pada data tersebut, maka pertanyaan sederhana yang patut diajukan adalah apa yang menyebabkan sehingga sektor perikanan Maluku Utara belum mencapai target yang sesuai?.

Realitas Saat Ini

Di Maluku Utara saat ini penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan memiliki potensi besar, akan tetapi relatif menurun. Realitas saat ini menunjukan bahwa minat angkatan kerja untuk masuk pada sektor perikanan masih sangat minim. Bisa saja hal yang mempengaruhi adalah pendapatan dari sektor perikanan tidak menjanjikan. Sehingga ada banyak angkatan kerja muda lebih tergiur bekerja di sektor pertambangan karena pendapatannya lebih menjanjikan. Itu sebabnya, mengapa saat ini terjadi migrasi tenaga kerja ke sektor pertambangan di Maluku Utara.

Fenomena peralihan lapangan kerja dari sektor perikanan ke sektor pertambangan bukan tanpa sebab. Motifnya adalah pendapatan yang menjanjikan. Ini, sebagai reaksi dari mereka yang tercampakan oleh arah kebijakan yang belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga pilihan memanfaatkan potensi daerah yang ada di depan mata (walaupun memiliki dampak yang besar, baik bagi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi dalam jangka panjang) serta harus mengabaikan pemanfaatan potensi lainnya seperti perikanan. Padahal jika ada dukungan hilirisasi bagi sektor ini, seperti pengembangan industri perikanan, maka perikanan akan lebih produktif dan dapat menjadi sektor unggulan di Maluku Utara pada masa mendatang.

Walaupun untuk pengembangan industri perikanan di Maluku Utara bukanlah hal yang mudah, namun dengan melimpah potensi perikanan yang dimiliki dan pasar domestik maupun internasional yang menjanjikan ini memungkinkan Maluku Utara menjadi episentrum perdagangan produk komoditas perikanan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara (2021) menunjukan bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi perikanan tangkap mencapai 287.148 Ton, dan produksi perikanan budidaya dengan komoditi utama adalah rumput laut, kerapu dan udang vaname terlihat lebih unggul yang totalnya mencapai 105.849,566 Ton.(PostTimur.Com 07/01/2022)

Quo Vadis

Istilah Quo Vadis berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti “mau dibawah kemana”. Istilah ini mungkin sangat tepat untuk mempertanyakan arah tujuan sektor perikanan Maluku Utara saat ini. Bak semang yang kehilangan induknya, begitu juga kebijakan di sektor perikanan yang mungkin kehilangan arah. Sampai di sini, dibutuhkan suatu formula baru dalam menentukan langkah baru perikanan.
Setiap perubahan yang terjadi karena adanya formula baru (misalnya kebijakan baru) tentu senantiasa menimbulkan gesekan. Ada pro-kontra yang terjadi. Walaupun demikian perubahan itu adalah sesuatu yang sudah pasti terjadi, karena tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Mengutip kata Jhon F. Kennedy change is the law of life. Begitu juga dengan memunculkan formula baru dalam arah kebijakan perikanan, tentu ada banyak pro dan kontra pemikiran, akan tetapi jika itu tidak dilakukan sektor perikanan akan jalan di tempat.

Salah satu perubahan yang harus dihadirkan dalam aras sektor perikanan Maluku Utara adalah pada soal prioritas perikanan tangkap. Sudah sering terjadi overfishing oleh karena itu pengelolaan komoditi perikanan harus segera diatur atau dikelola. Perlu juga diakui bahwa perikanan tangkap saat ini dipenuhi masalah yang sangat serius, mulai dari pendapatan yang terus tergerus, overfishing salah satunya, lemahnya daya saing, dan sarana yang belum memadai. Oleh karena itu pengembangan budidaya perikanan dianggap sebagai solusi yang tepat.

Meski dalam pengembangan budidaya perikanan di Maluku Utara menghadapi tantangan yang sangat serius seperti minim minat generasi muda yang masuk mengelolah sektor ini. Karena selama ini masyarakat sudah terbiasa dengan aktifitas melaut dan itu telah menjadi budaya kekinian. Oleh karena itu dibutuhkan waktu untuk mendobrak budaya ini. Namun, jika semua ini dilakukan oleh pengambil kebijakan dengan komitmen yang besar maka pengembangan budidaya perikanan akan menjawab setiap persoalan perikanan masa kini dan untuk masa depan. Maka dari itu, untuk mewujudkan hal ini perlu adanya pemberdayaan bagi masyarakat dalam hal pengelolaan budidaya perikanan. Pemberdayaan masyarakat untuk mengelolah potensi perikanan dengan budidaya perikanan akan menentukan masa depan perikanan Maluku Utara.*
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini