Kekuatan Uang Sebagai Modal Politik

Sebarkan:

Oleh : Marco Hamisi S.Pd, M.Pd
Sekjend GPM Maluku Utara


RASANYA genit tangan ini hingga menorehkan tulisan tentang uang dan kekuasaan, karena pasca reformasi 1998 seakan elektabilitas, akuntabilitas, kapabilitas dan yang paling penting adalah isi kantong (modal untuk berkuasa). Hampir semua elit politik di Indonesia teramat fasih berbicara isu-isu dasar demokrasi. Tampak beberapa dasar itu akan mengundang khalayak ramai untuk diperdebatkan sampai pada bagaimana untuk menata ulang? Meski begitu, dibalik semua itu akan bertemu dalam satu meja untuk bisa memperebutkan sumber daya publik (anggaran) dengan bentuk-bentuk apapun.

Memang, kita harus senantiasa mempertanyakan perkembangan serta kualitas demokrasi yang telah berjalan selama 25 tahun, yang paling tidak ada beberapa tahapan dengan ditandai orientasi elit politik dalam suatu negara. Tahap pertama negara-negara yang memiliki kualitas demokrasi buruk. Kita dapat mencari tahu relasi para elit politik serta pertarungannya di antara mereka demi dan untuk memperebutkan sumber daya publik. Ironisnya meski pun demikian ada pelajaran tak ternilai akan perihal ini karena di negara-negara yang termasuk dalam golongan seperti itu sudah tentu dalam pelayanan publik buruk sehingga akan tergerogoti oleh korupsi. Secara umum demokrasi tidak mampu memperbaiki keadaan sehingga jika bicara akuntabilitas yang menyangkut badan-badan publik, partai politik, hampir nyaris diharapkan menjadi lebih baik.

Tahap kedua seperti golongan kelompok negara transisi yang dimana jaringan elit politik sudah mengalami perubahan bukan lagi pergeseran dari mengambil secara langsung manfaat terhadap sumber daya publik (anggaran negara) yang kita ketahui akan mengacu kepada konsesi lebih luas, automatis yang dicapai adalah kemenangan demi penguasaan sumberdaya non-publik. Dan itu akan menjadi lazim dialami oleh negara-negara berkembang yang memang sudah masuk fase kesejahteraan lebih mapan. Di level atau tahap ini sudah tentu para elit politiknya akan bertarung untuk bisa memenangkan konsesi sumber daya non-publik yang akan mengarah untuk kepentingan para pemodal dan sudah tentu itu berada dalam golongan mereka. Automatis ada resiko terhadap kerusakan lingkungan, meksipun seakan sebuah keniscayaan karena negara yang telah mencapai taraf ini umumnya, biasanya sudah relatif bisa mengelola pelayanan publik lebih sehat itu semua dikarenakan anggaranya tidak terjangkiti sampai tergerogoti habis oleh hasrat dan cari-cari celah untuk korupsi.

Tahap ketiga, kelompok negara dimana relasi elit politik telah mengalami perubahan yang lebih jauh, yakni perebutan konsesi sumber daya publik maupun non-publik untuk mempertahankan eksistensi negara dalam perebutan kepemimpinan dalam peradaban. Biasanya negara memiliki dua kekuatan politik besar yang saling mengkoreksi satu sama lain melalui pergantian kepemimpinan. Pertarungan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat adalah pertarungan untuk mempertaruhkan eksistensi negara dalam kepemimpinan peradaban. Akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik maupun non publik menjadi begitu penting di negara ini. Dalam sistem demokrasi, perumusan regulasi mendasar dan pengawasan politik penyelenggaraan negara secara formal dilakukan oleh anggota legislatif yang berasal dari partai politik. Dalam konteks ini keberadaan partai politik yang akuntabel menjadi faktor awal yang menentukan apakah negara tersebut akan mampu bergerak ke tahap berikutnya yang ditandai dengan kualitas demokrasi yang semakin membaik.

Bagaimanapun, Indonesia kini telah memiliki Undang-undang no. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang secara jelas mengatur bahwa partai politik merupakan salah satu badan publik. Informasi keuangan badan publik, dalam undang-undang ini juga dinyatakan sebagai informasi publik yang dapat diakses oleh setiap warga negara. Tidak terkecuali informasi keuangan partai politik. Akuntabilitas partai politik menentukan kualitas demokrasi. Buku Politik Luar Negeri Kontemporer Indonesia karya Willien Wijatmoko ini menurut saya adalah salah satu inspirasi kongkrit bagi para praktisi yang menyadari kondisi di atas dan memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di negara ini.

Tak Ada Ideologi, Namun Yang Adalah Kekuatan Untuk Berkuasa

Hal yang tak bisa dipungkiri dalam realitas politik di level nasional yang kian mutakhir adalah kekuatan uang semakin menunjukan pengaruhnya teramat luar biasa. Dan itu dapat terlihat dari cara bekerja dan fungsi-fungsi parlemen mengenai hubungannya dengan pemerintah, dari institusi negara hingga sektor swasta. Selain itu ada hal yang tidak kalah kuatnya dalam hal juga dapat dirasakan dalam dinamika politik internal partai politik, dalam segi pemilihan pimpinan partai politik, dan berimbas terhadap penentuan calon partai dalam pemilu atau pilkada.

Uang dan partai politik keduanya jika bertemu dalam satu kubangan yang kotor sudah tentu akan mendapati kasus-kasus yang berkaitan hampir melibatkan semua partai politik di parlemen, dari yang mengarah ke korupsi ataupun pelanggaran aturan dalam dana politik, dan itu semakin memperburuk muka perpolitikan nasional, ditambah lagi keterbukaan media juga menjadi peranan yang terpenting dalam cara-cara kerja hukum ke wilayah politik sehingga menjadi andil besar agar bisa membuka tabir political buying. Seakan memakai beragam topeng sehingga tak begitu tampak.

Di waktu yang bersamaan sebetulnya semakin jelas bentuk buruk rupa kelakukan para politisi maka terjadilah resistensi terhadap itu. Maka sudah tentu akan ada cara untuk menyelamatkan muka yang sudah buruk dengan begitu akan meneguhkan suatu pandangan bahwasanya mereka seakan tertuduh sebagai oligarki elite yang membajak lembaga-lembaga demokrasi dan itulah hasil gerakan reformasi.

Dengan begitu juga terciptalah sentimen negatif dari masyarakat kepada parpol dan juga lembaga DPR yang bisa kita lacak dari berbagai survey. Tidak hanya sampai disitu legitimasi partai politik serta parlemen berwujud sebagai instrumen demokrasi modern yang tadinya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, namun kenyataanya kini sudah berada di titik nadir. Jadi katakan dengan berani bahwasanya partai beserta parlemen hanyalah kendaraan untuk para pemburu rantai dalam memperbesar efek mereka menuju mata air ekonomi dan keuangan publik.

Ini juga sangat berkaitan dengan kesadaran masyarakat mengenai politik yang tersandera dalam dua pilihan sulit, yakni memperkuat lembaga demokrasi atau melupakannya sama sekali. Kita tentu juga menyadari angka golput dari pemilu ke pemilu sebetulnya adalah bentuk hukuman atas para politisi busuk yang memang menjadi cerminan akan keadaan saat ini. Sungguh sulit melawan kekuatan uang karena konsekuensi dalam alam demokrasi, atau katakanlah demokrasi uang seperti surga bagi mereka yang berkantong tebal. Sehingga akan lahirlah unequal opportunity dalam politik. Apakah ini suatu kebetulan? Semakin banyak saudagar atau pejabat kaya, entah sumbernya halal, haram, dan hantam.

Maka apakah yang meraih kekuasaan politik pada masa lalu dapat kita sebut mereka saat ini adalah sebagai donatur politik? Kenapa kekuatan uang memegang peranan penting? Yang nyata untuk membiayai parpol dan kampanye memerlukan biaya yang besar. Apalagi postur partai yang boleh ikut Pemilu tergolong raksasa, harus memiliki 75 persen pengurus di setiap tingkatan wilayah, dan tidak ada pembatasan belanja kampanye. Parpol gagal membangun sumber pendanaan internal mereka atau tidak mencukupi. Jadi masuk akal perlu dana besar untuk menggerakkan birokrasi dan konstituen partai. Maka selain donatur eksternal, tekanan terhadap subsidi negara untuk dana parpol yang memiliki kursi di DPR adalah fenomena baru pasca Soeharto .

Dan dalam sistem pemilu sekarang biaya politik untuk pemenangan pemilu lebih ke kas kandidat bukan partai, sehingga praktis mereka harus memperluas sumber-sumber pendanaannya. Kandidat anggota legislatif atau kepala daerah yang sebagian melamar partai politik peserta pemilu harus mengeluarkan ongkos sebanyak dua kali untuk memenangkan “Pemilu internal” Partai juga kampanye Pemilu di daerah pemilihannya. Meskipun kini calon independen untuk Pilkada sudah dimungkinkan, tidak dengan sendirinya biaya politik akan berkurang banyak, karena mereka akan menghadapi pemilih dan kekuatan politik di parlemen yang terlanjur digerakkan uang. Faktor ideologi memang bukan lagi daya tarik politik, karena warna ideologi hampir tidak terlihat dalam dunia perpolitikan nasional.

Atau mungkin pemilih juga tidak peduli lagi dengan urusan itu. Di mata rakyat kebanyakan belum ada contoh nyata hubungan politik dengan kesejahteraan umum, maka jangan salahkan kalau masyarakat lebih pragmatis menuntut benefit pribadi daripada kebijakan umum. Kian intimnya hubungan politik dan uang, barangkali akan semakin melanggengkan praktik patronase politik dalam bisnis yang menjadi akar korupsi di Indonesia. Memang ini bukan fenomena Indonesia saja. Tapi celakanya di sini transaksinya adalah antara calo politik dan calo bisnis, yang keduanya secara teori tidak ada kepentingan untuk membangun infrastruktur politik, sosial dan ekonomi yang sehat untuk kepentingan pembangunan nasional berkelanjutan. Tetapi sekedar cash and carry, sehingga rakyat banyak tidak bisa menikmati hubungan politik dan bisnis di sini Tanpa mengabaikan aspek makro di sekitar masalah dana politik, buku modul ini barangkali bisa memberi pemahaman memadai bagi siapa saja, terutama pengurus partai politik yang peduli membangun partai politik yang legitimate di masyarakat. Secara normatif ada keharusan partai politik memiliki sistem administrasi keuangan yang manajemennya dan audit untuk memastikan partai bukan mesin pencuci dana kotor dan rekruitmen politik bukan tindakan kriminal.

Parpol Butuh Dana Begitupun Politik

Pada prinsipnya, masalah keuangan selalu dapat dipisahkan dari dua sisi, yaitu
Penerimaan yang mencakup semua sumber pendapatan dan pengeluaran yang mencakup
semua jenis atau item pengeluaran. Khususnya terkait dengan pendanaan politik
pengeluaran atau konsumsi sangat ditentukan oleh karakteristik penggunaan yang dimaksud,
sementara tujuan pengeluaran ditentukan oleh karakteristik sistem politik.

Di sisi pengeluaran, dana politik secara umum dapat dibedakan menjadi dua ciri
utama, yaitu; Pengeluaran untuk membiayai kegiatan rutin partai politik (party financing) dan Biaya kampanye (pembiayaan kampanye). Kedua jenis konsumsi ini tersebar luas ditentukan oleh sistem pemilu. Untuk sistem proporsional (berbasis partai), dimana pemilih memilih ikon partai, kecenderungan kegiatan keuangan untuk fokus pada pembiayaan partai.

Itu karena partai-partai yang memainkan peran terbesar atau dijual kepada pemilih. pesta seperti organisasi kemudian bekerja keras untuk memenangkan suara pemilih. Dalam sistem mayoritas (candidate base) dimana pemilih memilih seorang calon, pendanaan lebih terfokus pada kampanye masing-masing kandidat calon sendiri atau pihak ketiga yang ditugaskan untuk melaksanakan kampanye untuk pelamar. Dalam praktiknya, khusus untuk penggunaan dana politik oleh parpol, dana
Dana kampanye dan partai biasanya terpisah.

Kita ambil contoh budaya politik di Amerika Utara misalnya yang terlihat lebih berorientasi pada kandidat cenderung lebih dominan pada aktifitas kampanye kandidat (candidate-oriented) ketimbang pada organisasi (organization-oriented) atau orientasi partai (party-oriented). Di negara-negara Eropa Barat, istilah dana politik seringkali digunakan sebagai kata lain dari pendanaan partai (party financing), yang digunakan untuk membiayai aktivitas rutin internal dari partai selama masa pemilu. Di Eropa, kampanye lebih didominasi oleh partai, sedangkan di Amerika, terutama Amerika Utara, oleh kandidat.

Baca juga: Konsisten Ideologi Parpol atau Pergeseran Ideologi dalam Parpol?, bagian satu Tujuh Puluh Lima Hari Ingin Menjadi Presiden?. Apa dan bagaimana Aktivis Kampus? Dalam sistem parlementer, yang ditekankan adalah pembiayaan partai politik untuk kepentingan partai ia memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan naik turunnya pemerintahan.

Partai-partai yang berkuasa di parlemen dapat membentuk koalisi untuk pembentukan pemerintahan Jatuh dan pemilihan harus diadakan. Dalam sistem presidensial dimana presiden Tugas atau "istilah terbatas" memberi banyak peran calon berusaha mempertahankan kewibawaan pemerintahannya agar bisa untuk dipilih kembali atau untuk meningkatkan dukungan publik terhadap partai pro-partisan. Itulah sebabnya sistem parlementer memberi tekanan pada pendanaan partai politik (pendanaan partai politik).

Dari Pendanaan Partai Politik Menjadi Korupsi

Partai politik merupakan unsur pemersatu pemerintahan dan masyarakat sipil. Karena itu posisi partai sangat strategis hapus korupsi karena dapat berupa koneksi atau sinkronisasi Program antikorupsi dengan bagian dari pemerintah. Partai politik yang dapat menjadi unsur pemersatu adalah partai yang memilikinya selain program aksi antikorupsi, juga komitmen reformasi badan internal yang menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan Berpesta. Faktanya, parpol belum menunjukkan komitmennya dalam pelaksanaan program aksi antikorupsi dan sebagai kontak antar masyarakat sipil dan pemerintah. Partai politik yang berkuasa menikmati kekuasaan menggunakan apa saja untuk menambah sumber pendanaan kepada para pihak dan meningkatkan dana yang diterima oleh para pihak. Reformasi internal partai sangat penting untuk mendorong kesuksesan partai untuk bertindak secara tepat dan efektif untuk memberantas korupsi. Karena, pemberantasan korupsi harus datang dari partai itu sendiri, jadi kapan Yang terpilih untuk berkuasa dapat memenuhi keinginan rakyat dalam pemusnahan korupsi total tanpa beban sejarah.

Korupsi politik di Indonesia dapat digambarkan sebagai lingkaran setan korupsi politik seperti diagram di bawah ini. Korupsi di Indonesia menjadi sifat kekuasaan, baik politik maupun birokrasi. Korupsi karena partai, politik kemudian menjadi permanen sebagai lingkaran setan Politik sebagai satu-satunya jalan untuk memperoleh kekuasaan politik menjadikan birokrasi sebagai penghasil kekuatan politik dengan menempatkan orang-orang yang mampu meratakan kepentingan elit partai politik.

Hal ini dicapai dengan mempengaruhi aktor dan kebijakan birokrasi pemerintah mengalokasikan alokasi anggaran sesuai dengan kepentingan partai politik dan elit partai politik. Sulit untuk menjadi birokrasi sebagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara efektif karena terus-menerus diserang. Intervensi kekuatan ini dapat dilihat usulan proyek pemerintah yang menyasar kepentingan teman politik serta dana anggaran dari akun ilegal (akun yang tidak dilaporkan) untuk tujuan politik.

Munculnya kasus-kasus korupsi di kalangan elite partai politik sudah seharusnya tidak akan muncul lagi pada periode pemilu setelah tahun 2009 tentang pembiayaan partai politik, misalnya dalam UU No dua tahun 2008 tentang partai politik, partai mana yang akan mandiri Salah satu tujuannya adalah agar partai tersebut independen dari politisi. Ini sebenarnya membutuhkan partai politik sebagai cara untuk mengontrol politisi, tetapi tidak Sebaliknya, politisi menggunakannya untuk keuntungan atau perbaikan pribadi kekayaan.

Catatan Tentang Kewajiban Pendanaan Partai

Isu terkait tanggung jawab keuangan partai muncul setelah proses pendaftaran ke proses pemeriksaan. Di sisi catatan, masalah yang muncul biasanya terkait dengan perusahaan yang terdaftar. Terkadang partai politik menerima dana dalam bentuk hadiah yang tidak terdaftar. Hal ini disebabkan belum adanya sistem atau nomenklatur Lengkapi pendaftaran sesuai dengan sumber pendaftaran partai politik.

Hal ini bisa terjadi karena ruang lingkup penerapan peraturan pendaftaran bingkisan tidak jauh partai politik, kurangnya sistem pendukung seperti perangkat lunak pendaftaran yang baik Keengganan partai untuk mendaftarkan donasi karena permintaan donatur atau ada kesulitan dalam menelusuri asal usul sumbangan yang masuk.*
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini