Peluncuran & Bincang Film Dokumenter Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu

Sebarkan:

Oleh: Purnawan basundoro

Sagu berikut teknik pengolahan tradisinya belum tergarap serius dalam khazanah sejarah pangan Indonesia maupun mondial. Hal itu tercermin dari minimnya sagu dalam narasi besar Kepulauan Maluku sebagai lumbung komoditas rempah-rempah dunia pada abad perniagaan. Kenyataan historis tersebut membuat pelaut - pelaut Iberia seperti Portugal dan Spanyol datang merapat ke sana. Sekalipun perdagangan Eropa Barat akan cengkih, lada, dan pala berjalan di Maluku, sebagaimana Spanyol diKesultanan Tidore, Sagu justru memainkan peranan sentral yang membuat Spanyol maupun Portugal bertahan dua abad lantaran turut mengkonsumsi sagu sebagai pangan lokal setempat.

Ketiadaan Gandum seperti negeri asalnya di Eropa, membuat bangsa Iberia ikut memakan dan menikmati kuliner Sagu Maluku. Jejak lingua franca kebahasaan membuktikan bahwa istilah ‘forno’ yang diserap dari kosa kata Portugis guna menyebut alat cetak panggang berbahan dasar tanah liat untuk membentuk saripati sagu merupakan kosa kata yang dipakai di pasar-pasar Maluku Utara hingga hari ini. Padanan kata aslinya ialah keta (dari kata ‘cetak’) di tempat produksinya, yakni Pulau Mare. Penduduk Tidore maupun Maluku Utara dapat membedakan kedua kosa kata itu dengan baik. Keta saat dibawa ke pasar lebih familiar disebut sebagai forno lantaran menjadi komoditas dagang.

Sejarawan dan produser Daya Negri Wijaya menuangkan temuan-temuan riset arsip, kartografi (ilmu peta), bahasa, sejarah, literatur hingga studi lapangan mengenai sagu dan tradisi teknik pengolahannya dalam film dokumenter “HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu” (produksi 2023, durasi 28 menit 12 detik). Produser tamatan doktoral Universidade do Porto, Portugal (2022) sekaligus Ketua Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang ini berhasil mendapatkan fasilitasi Kajian OPK (Obyek Pemajuan Kebudayaan) dari Dana Indonesiana Kemdikbudristek RI yang dikelola LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan).

Sutradara Subiyanto, sineas lulusan Insititut Kesenian Jakarta (IKJ) dan ISI Solo, turut menemukan konsep menarik berupa ketidak-perluan sebuah daerah dapat mencukupi daerahnya sendiri sebagaimana yang biasa ia jumpai di Jawa. Di Tidore Kepulauan, Subi menyoroti proses produksi forno yang khusus dibuat di Pulau Mare. Namun untuk kebutuhan cat dan bahan peralatan lainnya membutuhkan material pulau-pulau lain. Setiap pulau memiliki spesifikasinya masing-masing dan saling membutuhkan dalam mata rantai penyelesaian produksi forno.

Sagu, Bahasa Pasar dan Istilah Lokalnya

Sagu sebagai padanan kata dari bahasa pasar turut memiliki ekspresi lokalitasnya sendiri. Di Tidore, sagu disebut dengan istilah ‘hula.’ Menurut Perdana Menteri Kesultanan Tidore M. Amin Faaroek kata ‘hula’ ikut menjadi toponim (ilmu bahasa yang mempelajari asal usul nama tempat) dari asal mula Benteng Tahula (bernama asli Benteng Santiago de Los Caballeros, 1610-1662) yang dibangun Spanyol di Tidore. Benteng itu berasal dari kosa kata hula, di mana pada seantero benteng banyak dipenuhi tanaman sagu.

Selain sejarawan Daya N. Wijaya dan Perdana Menteri Kesultanan Tidore M. Amin Faaroek, film dokumenter ini juga menampilkan beberapa narasumber antara lain Aeni Yusuf, pemilik Usaha Kecil Menengah (UKM) sagu Tagafura Tidore; Ary Budiyanto, antropolog kuliner Universitas Brawijaya; Arfin Abbas, astrolog penyusun kalender adat dan pamong budaya Tidore Kepulauan, Mukti Hadja Arif, warga Tidore, dan Hadija Alting, produsen forno atau keta Pulau Mare. Pulau Tidore, Pulau Mare, dan Pulau Ternate menjadi lokasi pengambilan gambar film dokumenter ini.

Ary Budiyanto sering berseloroh guna membedakan antara nasi dengan sagu sebagai konsumsi pokok karbohidrat. Sagu dapat dinikmati dengan pelbagai sambal (ikan gohu hingga dabu - dabu), aneka sayur mayur hingga teman minum kopi maupun teh. Nasi tidak mungkin masuk di akal dinikmati dengan dicampur teh atau kopi. Sagu memiliki daya jelajah yang hampir tidak terbatas pada pelbagai jenjang usia dan lawan main kuliner. Bagi bayi, sagu dapat ramah dikonsumsi dalam bentuk cairnya, yakni papeda. Bagi warga lansia, sagu dapat dijadikan bubur. Segala jenis sagu, entah sagu rumbia atau sagu tomang (tomang merujuk pada bungkusan sagu saat dijual di pasar) hingga sagu singkong (kasbi) dapat disesuaikan penggunaannya oleh setiap penikmatnya.

Ary menggaris-bawahi diversifikasi karbo, dimana pada masyarakat Maluku Utara ada sagu, pisang kepok, labu, jagung, singkong, sampai padi ladang dibandingkan masyarakat Jawa yang masih didominasi konsumsi beras-nasi. Diversifikasi karbohidrat menghindarkan bangsa pada ketergantungan impor hingga bencana kelaparan. Aeni Yusuf, produsen sagu Desa Jaya sebagai salah satu lumbung pangan Kesultanan Tidore mengungkapkan dirinya dan para produsen sagu lainnya mengusahakan agar sagu yang tahan lama, awet, dan menyehatkan tersebut dapat dijadikan ransum bagi kondisi kedaruratan maupun bencana alam. Ransum bencana tidak hanya mie instan melainkan sagu yang telah terbukti dijadikan makanan pelaut-pelaut Iberia yang disebut roti sagu maupun ransum Sultan Nuku (1738-1811), pahlawan nasional yang memenangkan pertempuran melawan kolonial Belanda.

Peluncuran dan bincang film dokumenter “HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu” diadakan pada Sabtu, 18 Maret 2023 pukul 9.30 – 12.00 WIB di Bioskop Movimax Sarinah Kota Malang. Kegiatan ini dibuka dengan sambutan dari Wakil Walikota Malang Sofyan Edi Jarwoko; Perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI; Arfin Abbas, Astrolog penyusun kalender adat dan pamong budaya Kota Tidore Kepulauan; Deny Yudo Wahyudi, arkeolog dan Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.

Ulasan film dibawakan oleh Purnawan Basundoro, sejarawan dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya; Lusiana Margareth Tijow, Kepala UPT Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, dan Moh. Rizki A. Karim, Himpunan Mahasiswa Halmahera Barat di Malang diikuti testimoni beberapa peserta. Penutup acara ialah pelantikan kepengurusan baru Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Malang (tahun bakti 2023-2028) yang dipimpin Daya N. Wijaya dan dikukuhkan oleh sejarawan Purnawan Basundoro sekaligus Ketua MSI Jawa Timur.


Pemajuan kebudayaan nasional seperti pendokumentasian obyek sagu berikut tradisi teknik pengolahannya di Tidore dan Kepulauan Maluku menjadi pekerjaan rumah bagi segenap pihak, baik pelaku budaya, birokrasi pusat dan daerah serta masyarakat umum dalam kerja-kerja warisan budaya tak benda (intangible heritage). Judul 'HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu’ menjadi ikatan penting bahwa identitas pangan bukan sekadar barang remeh temeh yang bersifat keseharian. Ia ikut menentukan entitas budaya dan alam bawah sadar masyarakat yang hidup dan menghidupinya.*
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini