Republik Plato: Filsafat Politik dan Relevansinya dengan Politik Kekinian

Sebarkan:

Oleh: Julfikram Suhadi 
Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Khairun Ternate

"Bila kita tidak mau terlibat dalam dunia politik, maka kita harus rela  untuk hidup dan dipimpin  oleh orang yang tidak berkompeten". (Plato)

Riwayat Singkat Plato

Nama aslinya adalah Aristokles. Nama Plato diberikan oleh gurunya. Ia lahir pada tahun 427 S.M. dan meninggal pada tahun 347 S.M dalam usia 80 tahun. Keluarganya adalah darah biru aristokrasi yang punya pengaruh dalam politik di Athena. Ayahnya bernama Ariston, bangsawan keturunan Raja Kodrus. Tidak heran menjadi pejabat negara adalah cita-cita Plato sejak kecil karena bentukan lingkungan keluarga. Selanjutnya, setelah Kelompok 30 tumbang dan terjadi pemulihan pemerintahan demokratis, keingainan Plato masuk dunia politik kembali muncul. Sekali lagi, harapan kandas ketika guru pujannya Socrates dihukum mati karena dianggap meracuni kaum generasi muda. Pebagai kenyataan politik yang ia alami menyebabkan ia berpikir bahwa sistem pemerintahan negara akan menjadi baik manakala dipimpin seorang filsuf, yang dianggap bisa membebaskan rakyat dari kesengsaraan.

Politik Plato Politik ialah salah satu cara mendapatkan sesuatu hal yang dimana tujuanya demi mencapai sebuah kekuasaan yang berbasis didominasi secara sukarela maupun memaksa. Yang kemudian kekuasaan tersebut dilaksanakan demi kesejahteraan bersama. Namun dengan syarat syarat tertentu yang sudah di proseduralkan dengan kesepakatan yang sudah di legitimasi ataupun tradisi tradisi budaya yang menyetujui hal tersebut. Sejak zaman dahulu. Politik memang personifikasi sebagai bagaimana bentuk kekuasaan ataupun pemerintahan yang di jalani. Walaupun sifat karakteristik ini tidak ditampilkan secara eksplisit, namun politik eksis dengan substansial kekuasaannya. Dengan kekuasaan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka cara komprehensif politik selalu berkaitan dengan dua hal besar tersebut yaitu pemerintah(negara) dan kekuasaan.

Salah satu tokoh klasik yunani bernama Plato juga menjabarkan tentang bagaimana politik itu dimiliki oleh manusia. Pelatuk mengindetifikasikan mengidentifikasikan sebagai bagaimana politik itu harus berdasarkan konstitusi konstitusi yang telah ditentukan.

Walaupun politik memang hanya untuk orang-orang tertentu menurut plato yang memiliki bakat ataupun potensi untuk menguasai. Namun suatu melarang sikap-sikap yang negatif terhadap kekuasaan. Kekuasaan itu hadir memang untuk kesejahteraan bersama dan kepentingan bersama. Sehingga inilah yang dihadirkan oleh suatu dalam pemikiran kekuasaan politiknya.

Sistem politik yang ideal menurut Plato adalah sistem kekuasaan monarki. Yang di mana dengan sistem tersebut bahwa kekuasaan itu dipegang oleh satu orang yang mengendalikan kekuasaan. Monarki merupakan basis kekuasaan yang sudah lama dijalankan. Pemerintahan monarki inilah yang paling relevansi menurut Plato. Sebab dengan hadirnya sistem monarki membuat masyarakat tidak sebebas-bebas nya menentukan pemimpin. Bisa saja pemimpinnya diangkat ketika bukan sistem monarki adalah pemimpin yang tidak memiliki potensi adapun berbakat secara geneologi dalam menjalani kekuasaanya. Plato menginginkan negara itu dikuasai oleh seseorang yang dmana dia mampu untuk mengendalikan keadaan sebuah negara. Orang yang dianggap pantas menjadi pemimpin itu adalah seorang nabi ataupun filosof. Sehingga kini yang pantas di pemimpin dan menguasai ataupun mengontrol orang lain dalam sistem politik monarki.

Potensi orang lain menjadi pemimpin menurut plato sangatlah kecil sebab mereka tidak secara empirisme dibuktikan ke idealnya menjadi pemimpin yang diharapkan. Namun pemimpin yang dipimpin oleh para nabi dan filosofi itu sudah pastinya ideal menurut Plato.

Indonesia masa kini Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope atau yang kita kenal dengan politik ketakutan dan politik harapan. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu,. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republik of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.

Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal jual-beli di tempat Tidak ada sedikitpun upaya “sofistikasi” untuk sekedar memperlihatkan sifat “elitis” dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.

Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan “uang tunai”. Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa “human development index” kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan. Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.

Kondisi politik Maluku utara Untuk wilayah Provinsi Maluku Utara terdapat 8 kabupaten kota menggelar Pilkada. Kota Ternate masuk pada urutan ketiga di Indonesia paling rawan politik uang dan  masuk tiga besar daerah rawan Pemilu 2024 setelah DKI Jakarta dan Sulawesi Utara. Status rawan Pemilu berdasarkan sejumlah indikator yang diantaranya karena letak geografis, penyelenggara hingga data pemilih. Ketua KPU Maluku Utara Pudja Sutamat menyatakan, adanya kategori ini tentunya sebagai penyelenggara Pemilu di Malut akan lebih waspada dengan bekerja secara profesional dan berkualitas. “Ini peringatan bagi kita sebagai penyelenggara Pemilu, sehingga bekerja lebih baik dan berhati-hati pada semua tahapan, tetapi saya lebih berfikir positif ” katanya, kepada wartawan, di Ternate, baru-baru ini. Pudja menambahkan, seharusnya Maluku Utara tak masuk tiga besar daerah rawan Pemilu mengingat sejumlah perbaikan pelaksanaan Pemilu dari tahun ke tahun sudah dilakukan. “Termasuk suksesnya penyelenggara melaksanakan Pemilu 2019,” katanya. *

Rusly mengemukakan, praktik politik uang itu sanksinya adalah pidana kurungan penjara. Baik pelaku maupun yang menerima sama-sama akan dikenakan sanksi sesuai UU. Sebagaimana bunyi Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1 miliar. Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau sebagaimana dimaksud pada ayat satu. Kasus politik uang itu, lanjut Rusly, pernah terjadi pada Pilgub Maluku Utara.

Untuk itu jelas sekali terkait dengan pendapat Plato tentang negara ideal yang didasarkan pada prinsip atas larangan pemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak dan istri. Inilah yang disebut nihilisme social yang menurut Plato menghindarkan Negara dari berbagai pengaruh erosive dan destruktif yang pada akhirnya akan mencipatakan disintegrasi Negara kota. Dalam konteks inilah plato juga mengemukakan gagasan tentang hak kepemilikan bersama, kolektivisme, atau komunisme. Intinya adalah gagasan anti individualisme. Plato juga mengungkapkan bahwa system Negara demokrasi akan melahirkan pemerintahan tirani dan juga dalam Negara demokrasi, kebebasan individual dan pluralism politik adalah dewa yang dianggungkan. Semua warga Negara memiliki kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi tanpa merasa khawatir akan intervensi Negara terhadap kebebasannya itu. Dalam istilah plato demokrasi itu “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap oarng dapat berbuat sekehendak hatinya” dan akhirnya kekerasan dibenarkan atas nama kebebasan dan persamaan hak.**
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini