Keadilan Semu Dari Kenaikan Harga BBM

Sebarkan:
Oleh: Baster Douglas Kareng 

Suatu hal yang bisa dianggap sebuah paradoks adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah situasi ekonomi negara yang belum pulih seutuhnya akibat Pandemi Covid-19. Ada tiga upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan ekonomi nasional yang selama ini lumpuh, seperti 1). Peningkatan konsumsi nasional, 2). Peningkatan aktivitas dunia usaha, dan 3). Menjaga stabilitas ekonomi dan ekspansi moneter. Namun, di sisi lain pemerintah justeru menaikan harga BBM, seperti Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter; Solar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi 6.800 per liter; Pertamax naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter, yang secara otomatis dapat menghambat ketiga rencana di atas. (KOMPAS.com/03/09/2022).

Kenaikan harga BBM memiliki dampak buruk bagi kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Seperti adanya keterbatasan akses masyarakat terhadap barang atau jasa. Selain itu, hal ini juga akan memicu terjadinya inflasi yang tinggi dan akan merambat hingga ke sektor lainnya termasuk harga-harga komoditas kebutuhan dasar masyarakat. Dengan demikian fenomena ini dapat meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia yang saat ini menurut laporan Badan Pusat Statistik (2022) mencatat, persentase penduduk miskin di Indonesia masih sebesar 9,54% atau  mencapai 26,16 juta orang per Maret 2022.

Berkaitan dengan itu, naiknya harga BBM akan berpengaruh pada perputaran ekonomi pada sektor strategis negara, seperti sektor industri, sektor transportasi, sektor pertanian, kelautan dan perikanan, sektor pariwisata dan sektor-sektor terkait lainnya, yang merupakan episentrum aktivitas perekonomian nasional.

Alasan pemerintah menaikan harga BBM karena menganggap selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran. Dimana yang menikmati BBM bersubsidi adalah masyarakat menengah ke atas atau orang-orang kaya. Namun, alasan ini bukanlah alasan baru lagi, bahkan sejak dalu, argumen ini selalu dipakai pemerintah bila menaikan harga BBM. Jika demikian kenyataannya bahwa hanya orang kaya yang menikmati subsidi BBM, maka sudah semestinya pemerintah fokus untuk memberantas penyalahgunaan penerima manfaat ini dan tidak menaikan harga BBM.

Klaim bahwa orang kaya menikmati subsidi dan harus menaikkan harga BBM sebenarnya mirip dengan klaim "keadilan semu". Tampaknya adil. Karena di negeri ini, yang kaya berhubungan dengan yang miskin. Di negeri ini, si kaya adalah produsen barang-barang yang dibutuhkan si miskin. Jika harga bahan bakar naik, begitu pula biaya produksi dan distribusi barang kebutuhan pokok, demikian juga harga barang-barang tersebut di pasar. Di sini, orang miskin akan kesulitan mendapatkan barang yang harganya naik. Artinya, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi juga merupakan pukulan telak untuk menumpas masyarakat miskin di bawah. Jadi pemerintah memukul orang kaya dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi orang miskin yang menderita di bagian bawah.

Ternyata bantuan pemerintah dengan berbagai cara tidak bisa menyembuhkan luka rakyat miskin akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Seperti obat yang dicuri oleh beberapa pihak. Jurang antara yang miskin dan yang kaya kian melebar. Seharusnya biaya BBM gratis bagi pejabat publik/negara dan BUMN (pusat dan daerah) yang telah berlangsung puluhan tahun harus dicabut. Karena jumlahnya yang banyak dan telah menjadi beban keuangan negara.

Seharusnya mereka tidak layak menerima barang gratis tersebut karena kehidupan mereka ditanggung negara. Salah satu bentuk tanggungan negara adalah gaji para pejabat.

Menaikan harga BBM dengan tujuan untuk membatasi orang kaya untuk tidak menerima manfaat dari BBM bersubsidi memang bukanlah kebijakan yang tepat. Karena dengan menaikan harga BBM tersebut sama dengan menciptakan atau menambah jurang antara kaum miskin dan kaum kaya. Memukul yang kaya tetapi yang miskin menanggung sakitnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya pemerintah untuk fokus memberantas penyalahgunaan penerima manfaat subsidi BBM.***
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini