Praktisi Hukum di Tidore Soroti Dugaan Kasus Rasisme Syamsul Rizal

Sebarkan:
Praktisi Hukum Rustam Ismail (Istimewa)
KAMERA, TIDORE - Usai dilaporkan ke Polisi, kasus dugaan rasisme kepada warga Oba dan Suku Sangir yang diduga dilakukan oleh bakal calon Wali Kota Tidore Syamsul Rizal Hasdy kian marak disoroti. Salah satunnya datang dari praktisi hukum di Kota Tidore, Rustam Ismail.

Kepada Kabarhalmahera.com, Kamis, 29 September 2022, Rustam mengatakan statemen Syamsul Rizal dalam acara silaturhami di Kelurahan Mareku beberapa waktu lalu adalah problem hukum yang harus dipertanggungjawabkan.

"Karena apa yang disampaikan (Syamsul Rizal) itu seakan-akan menjustifikasi Oba adalah tempat keto (mabuk ), dan tempat kaco (tidak aman), bahkan Syamsul juga menyebutkan dengan tegas (kalau mau kotori, sana deng sangir sanger di Oba). ini adalah stigma yang menyesatkan seakan-akan orang sangir di Oba pembuat kotor," ujar Rustam.

Menurutnya, dalam peryataan Syamsul Rizal itu setidaknya terdapat dua poin yang cenderung diskriminasi.

"Yang pertama adalah masyarakat Oba dan yang kedua adalah etnis Sangir yang tinggal di Oba," tegasnya.

Dengan begitu kata Rustam, pernyataan Syamsul Rizal tersebut adalah perbuatan yang sifatnya melawan hukum atau Wederrechtelijkheid sebagaimana diatur dalam UU nomor: 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang ditegaskan dalam pasal 4 huruf b angka 2, serta ketentuan pidananya diatur dalam pasal 16.

"Perbuatan itu juga dapat diduga melanggar pasal 156 KUHP. Karena jika kita runut unsur pasal 156 KUHP setidaknya terdapat 4 unsur, yang pertama adalah barang siapa (subjek hukum) yang dimaksud adalah orang yang melakukan," katanya.

Sementara itu menurut Rustam, diunsur yang kedua, adalah disampaikan dimuka umum seperti dugaan dugaan rasisme yanga diutarakan Syamsul di acara pertemuan atau silaturahim di Kelurahan Mareku.

"Unsur yang ketiga adalah menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan, unsur ini jika dikaitkan dengan kalimat yang dia sampaiakan kalau mau kaco (tidak aman), keto (mabuk) dan lain-lain di wilayah Oba, maka seakan-akan bermakna kalau Oba tempat kaco dan Keto. Bila kita melihat defenisi mabuk menurut KBBI adalah hilang kesadaran (karena banyak minum minuman keras)," tuturnya.

Sedangkan kata kaco, menurut Rustam adalah bahasa keseharian di Maluku Utara yang dapat diartikan sebagi keadaan rusuh, berkelahi dan tidak aman.

“Di KBBI kita hanya menemukan kata Kacau (rusuh, tidak aman dan tidak tentram). Tapi kedua kata kaco dan kacau memiliki defenisi atau makna yang sama. Untuk lebih jelasnya saya menyarankan agar penyidik dapat meminta pendapat pakar bahasa dan hukum pidana,” ucapnya.

“Untuk unsur keempat ini mendefenisikan kata Oba. Kita tahu bersama bahwa kata Oba adalah nama kecamatan di daratan Halmahera yang merupakan wilayah administrasi Kota Tidore Kepulauan selanjutnya dibagi dalam empat kecamatan,” sambugnya.

Rustam juga menyarankan agar dugaan kasus rasisme ini dibuatkan dua laporan polisi secara terpisah. Itu karena terdapat dua golongan yang disudutkan dalam pernyataan Syamsul Rizal.

“Seperti etnis Sangir di Oba yang dia sebut dengan kata kotori, disini penyidik dapat mengunakan Undang-Undang nomor: 40 tahun 2008 khusunya pasal 16 Jo 4 huruf b angka 2. Karena kalimat yang diungkapan Syamsul Rizal dengan sebutan (disini negeri para aulia, disini negeri tarekat, disini negeri adab, jangan kotori kalau kotori, sana deng sanger-sanger di oba) itu adalah kata-kata seakan-akan menyebutkan bahwa orang suku Sangir di Oba itu tempat pembuat kotor,” katanya.

Rustam menjelaskan, kata kotor dalam KBBI bisa diartikan sebagai sampah. Dengan begitu kata dia, hal ini secara tidak langsung menimbulkan kemarahan, kebencian dan stigma orang lain terhadap masyarakat di Oba yang cenderung kurang baik.

"Ataukah saudara samsul punya defenisi sendiri tentang kata kotori?. Selebihnya
kita serahkan kepada penyidik sesuai kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan," tuturnya.

Rustam menyatakan, dalam kasus ini Syamsul juga diduga melanggar pasal 16  UU No 40 Tahun 2008.

Jika dilihat dari unsur pasal yang melekat pada pasal 16, diantaranya setiap orang (subjek hukum) orang yang diduga melakukan tindak pidana dengan sengaja (membuat tindak pidana dalam keadaan yang sadar) atau menunjukan kebencian kepada orang lain (masyarakat).

"Tapi semuanya tergantung penyidik, penyidik lebih tau, lebih memahami peristiwa kongkrit dan unsur pasal yang disangkakan. Olehnya itu sangat diharapkan masalah ini dapat dituntaskan oleh Polres Kota Tidore Kepuluan," ucapnya.

Rustam membahkan, ia yakin penyidik punya kemampuan dan kecerdasan yang lebih, untuk dapat menemukan atau tidak suatu peristiwa pidana dalam masalah ini.

"Ini harus dituntaskan kalau memenuhi unsur maka harus diproses lebih lanjut sehingga ada efek jera bagi orang yang melakukannya. Jika tidak dikuatirkan nanti kedepan ada lagi orang lain melakukan hal yang sama tanpa ada akibat hukum," tandasnya.

====
Penulis: Aidar Salasa
Editor   : Rustam Gawa
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini