"Krisis SDM dan Tantangan Masa Depan” Mengurai Tumpukan Kecemasan di Negeri Moloku Kie Raha

Sebarkan:

Oleh: Chrisvanus Th Lahu
Sekretaris GMKI Cabang Ternate

Sumber Daya Manusia dalam dua dekade terakhir ini, memang menjadi topik yang hangat di diskusikan kalangan mahasiswa, politisi, buruh maupun profesi lainnya. Mencuatnya pembahasan soal kualitas Sumber Daya Manusia beriringan dengan teknologi yang kian berkembang dan memberikan persaingan yang cukup ketat sehingga skill individu yang dimiliki, menjadi sesuatu yang berharga untuk merebut posisi strategis entah pada perusahaan swasta maupun lembaga pemerintahan. Notoatmodjo (2003) merumuskan kualitas SDM tergolong dalam dua aspek yaitu aspek fisik yang berkaitan dengan kualitas fisik manusianya dan aspek non-fisik yang berkaitan dengan kemampuan bekerja, berpikir dan berketerampilan. Sejalan dengan itu, era globalisasi memberikan penegasan bahwa untuk memiliki kemampuan fisik dan non-fisik seperti  diuraikan diatas, maka perlu tahapan proses yang cukup rumit dan menantang, sampai  memiliki SDM yang unggul dan memiliki daya saing. Sementara Kasanuddin (2011:18) memberikan beberapa indikator sebuah SDM yang unggul meliputi Kualitas intelektual atau pengetahuan dan keterampilan, tingkat pendidikan cukup, mampu memahami bidang pekerjaannya, semangat kerja dan kemampuan perencanaan pengorganisasian. Namun untuk mendorong terwujudnya kualitas SDM yang kompeten seperti dipaparkan Kasanudin, maka intensitas pendidikan dan pelatihanlah yang di jadikan tolak ukur saat ini.

Di Indonesia kita memasuki suatu kondisi yang memiliki peluang dan tantangan yang sangat kompleks, yaitu bonus demografi dimana usia produktif lebih mendominasi dibandingkan dengan usia yang tidak produktif. Laman Databoks (2022) menunjukan   jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Dari jumlah tersebut, ada 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia yang masuk kategori usia produktif (15-64 tahun). Terdapat pula 84,53 juta jiwa (30,7%) penduduk yang masuk kategori usia tidak produktif. Fenomena tersebut seharusnya menjadi peluang yang baik bagi Indonesia dalam mengembangkan sumber daya nya untuk menjemput Indonesia Emas Tahun 2045 jika diberdayakan dengan baik. Namun akan bertolak belakang dengan harapan itu ketika Sumber daya Manusia yang dimiliki (usia produktif) tidak mempunyai daya saing dan keunggulan kompetitif dibidangnya sehingga menjadi Boomerang bagi Negara ini. Dampaknya, Negara harus menanggung beban pengangguran yang melonjak tinggi seiring dengan memasuki puncak bonus demografi. Pemetaannya dapat terlihat pada kualitas SDM terbilang cukup stagnan dan kurang terlihat perkembangan yang signifikan. Misalnya, dapat dilihat data pengangguran berdasarkan pendidikan terakhir didominasi oleh SMK 10,38 persen. Pengangguran yang menamatkan pendidikan SD ke bawah sebesar 3,09 persen, SMP sebesar 5,61 persen, SMA sebesar 8,35 persen. Sedangkan pengangguran dengan pendidikan terakhir diploma sebesar 6,09 persen dan universitas sebesar 6,17 persen (BPS, 2022). Dalam kondisi tersebut, distribusi anak muda pada dunia kerja masih menjadi masalah klasik saat ini, sementara Tenaga Kerja Asing (TKA) terus di distribusikan pada sekian banyak perusahaan swasta di Indonesia. Kondisi ini juga tentu jauh perbandingannya dengan negara Finlandia yang selain dinobatkan sebagai negara terbahagia di dunia (Detik.com2023), juga negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik juga di dunia (jangan tanyakan lagi kualitas SDM nya).

Tantangan SDM Maluku Utara

Beralih pada skala yang lebih kecil yaitu Provinsi Maluku Utara yang hampir satu dekade ini dinobatkan sebagai provinsi terbahagia di Indonesia. Meninjau data Dukcapil pada laman Databoks (2022) terdapat 89,08 ribu jiwa penduduk Maluku Utara yang berpendidikan sampai jenjang perguruan tinggi atau universitas pada Juni 2021. Angka tersebut hanya 6,76% dari total penduduk di provinsi tersebut sebanyak 1,32 juta jiwa. Rinciannya, terdapat 162 jiwa (0,01%) penduduk Maluku Utara yang merupakan lulusan S3, ada 3,26 ribu jiwa (0,25%) berpendidikan hingga S2, dan sebanyak 62,57 ribu jiwa (4,75%) berpendidikan S1. Ada pula 13,93 ribu jiwa (0,7%) penduduk Maluku Utara yang berpendidikan hingga D3 dan terdapat 9,17 ribu jiwa (0,7%) penduduk di provinsi tersebut yang bersekolah hingga D1 dan D2. Sementara itu, penduduk Maluku Utara yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 320,7 ribu jiwa (24,35%) dan yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) mencapai 184,19 ribu jiwa (14,06%).

Dari penyajian data diatas, terdapat fenomena yang kompleks sekaligus menarik untuk kita cermati bersama, bahwa kecilnya minat generasi muda kita untuk melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, memperkecil Kualitas SDM kita di Maluku Utara sehingga berdampak signifikan terhadap peluang kerja yang layak bagi generasi produktif saat ini. Tidak heran terdapat enam ribuan tenaga kerja asing yang bekerja di Maluku utara (walaupun fakta lain juga menunjukan banyak TKA tidak memiliki keahlian khusus atau buruh kasar).

Pada kondisi tersebut, ada beberapa fenomena yang coba diuraikan penulis sebagai indikator rendahnya kualitas SDM di Maluku Utara, yaitu banyaknya generasi produktif yang  mengalami disorientasi ketika memilih cara praktis untuk mendapatkan pekerjaan. Misalnya, lulusan SLTA yang sebenarnya harus didorong untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, malah memilih jalan praktis untuk menjadi buruh kasar pada perusahaan swasta (diluar tuntutan Ekonomi), penghasilan yang diterima juga habis pakai untuk konsumsi dan tidak memikirkan investasi jangka panjang. Sehingga sangat sedikit jumlah putra asli daerah yang menempati posisi-posisi strategis baik di perusahaan swasta maupun lembaga negara.

Dalam amatan penulis, perusahaan-perusahaan swasta di Maluku Utara dan juga pemerintah daerah tidak banyak mengambil bagian untuk memberikan jaminan pelatihan dan pendidikan tinggi bagi anak muda Maluku utara. Disisi lain, ribuan lulusan sarjana yang di cetak per tahun, tidak mampu didistribukan untuk mendapat pekerjaan secara menyeluruh (tidak terhitung dengan lulusan sarjana yang bekerja, namun tidak sesuai background pendidikan) sehingga memberikan beban ganda karena meningkatnya angka pengangguran di Maluku Utara.

Resolusi Peningkatan Kualitas SDM

Banyak penelitian yang dikembangkan, salah satunya riset Korn Ferry yang memprediksi pada tahun 2030, perusahaan dan perekonomian di dunia akan mengalami apa yang disebut sebagai global talent crunch, yakni merosotnya tenaga kerja yang memiliki keterampilan, sehingga ketakutan yang sesungguhnya bukan soal teknologi canggih seperti robot yang mendominasi dan mengambil alih semua pekerjaan, melainkan keterbatasan SDM yang terampil, unggul dan memiliki daya saing untuk mengerjakan semua pekerjaan di era modernisasi saat ini. Sehingga dalam meningkatkan kualitas SDM yang kompetitif di bidangnya, maka skill dan pengetahuan menjadi sangat penting untuk dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Namun demikian, Istilah “Hard Skill” dan “Soft Skill”  saja tidak menjamin seseorang memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan karena teori klasik ini bisa terbantahkan oleh perkembangan zaman. Artikel Dr.Sean O. Ferguson (Senior Associate Dean, Asia School of Business) menggambarkan dua kemampuan seseorang yang lebih spesifik yang fleksibel dengan tuntutan zaman ini yakni Sharp Skills terdiri dari kemampuan teknis seperti visualisasi data, analitik data, optimization, manajemen berbasis sains, digital literacy, machine learning, dan system dynamics. Kemampuan tersebut menjadi kebutuhan primer dan masih langka pada saat ini. Selanjutnya yaitu Smart Skill atau kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan baik, cepat beradaptasi, mampu bersosialisasi dan memiliki sikap yang teruji didepan publik. Kemampuan tersebut memang dibutuhkan pada era saat ini karena beban kerja yang tinggi mampu menekan psikologis, sehingga tindakan kecerobohan dan hal-hal fatal dapat terjadi mampu diminimalisir dan tidak merugikan diri sendiri maupun tempat kerjanya. Maluku Utara dengan kompleksitas masalah soal SDM, seharusnya menciptakan peluang dan inovasi yang berkelanjutan guna merekontruksi paradigma  yang salah bagi masyarakat. Bahwa pendidikan dan pelatihan saat ini menjadi kunci kualitas SDM yang unggul dan kompetitif.

Paradigma tersebut terbangun dari skala terkecil yaitu lingkungan informal atau keluarga, bahwa pendidikan tinggi (jenjang perkuliahan) tidak hanya meningkatkan derajat keluarga, tetapi juga proses memperbaharui SDM yang unggul dan memiliki daya saing, tidak serta merta menjadi buruh kasar pada tempat kerja. Namun hal tersebut juga memiliki tantangan yang berat salah satunya faktor ekonomi masyarakat, sehingga seluruh stakeholder memiliki tanggungjawab penuh dalam memberikan kontribusi bagi kemajuan SDM Maluku Utara. Pemerintah dengan beragam kebijakan harus mampu menjamin ketersediaan fasilitas pelatihan yang cukup dibidang terkait serta memberikan kemudahan pendidikan lewat jalur beasiswa bagi generasi produktif di Maluku Utara. Perusahaan swasta, yang beroperasi di seluruh Maluku Utara juga harus mengambil bagian pada sektor pendidikan dalam upaya peningkatan SDM masyarakat melalui anggaran Corporate Social Responsibility (CSR).**

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini