Oleh: Abank Bintang Togubu
(Mantan Aktivis PMII Cabang Tidore)
Wacana Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota sofifi yang menjadi cita-cita Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, untuk membentuk kota metropolitan, telah memasuki babak akhir.
Sherly yang semula begitu ngotot mendorong DOB Kota Sofifi ke Pemerintah Pusat, tanpa berkomunikasi dengan Pemerintah Kota Tidore, selaku pemilik sah wilayah Ibukota Sofifi atau daerah induk.
Menuai polemik di kalangan publik. Langkah Sherly yang terkesan otoriter dalam mendorong wacana Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), sempat tak digubris Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.
Peristiwa ini, berlangsung pada saat peletakan batu pertama proyek Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi di Karawang, Jawa Barat dan tanjung Buli, Kabupaten Halmahera Timur, tanggal 29 Juni 2025.
Meski tak direspon Presiden, namun di berbagai kesempatan, Sherly rupanya tak hilang akal. Ia terus mendorong cita-citanya dengan dalih kepentingan Rakyat Maluku Utara, tanpa mempedulikan Daerah induk.
Sikap yang ditunjukan Gubernur Maluku Utara ini, sepertinya tidak sejalan dengan Sekertaris Provinsi (Sekprov) Maluku Utara, Samsudin Abdul Kadir.
Samsudin, lebih memilih penyelesaian DOB melalui jalur birokrasi, yang dimulai dari daerah induk. Menurutnya, Pemerintah Provinsi tidak mempunyai kewenangan untuk memulai pembentukan DOB, yang berwenang adalah kabupaten/Kota induknya.
Sementara Gubernur Sherly, terkesan memaksakan kehendaknya melalui pemerintah pusat. Padahal, sudah jelas semangat pembentukan DOB, telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
Wacana DOB yang terus menerus digaungkan Gubernur Sherly di berbagai tempat. lantas menuai reaksi publik, ada yang pro dan juga kontra.
Berbagai tulisan dari Akademisi, Mahasiswa, Pemuda sampai pengamat, kian terpampang di kolom opini dan dinding medsos. Berharap menjadi refleksi, untuk Gubernur Sherly, sejenak menundukan kepala dan merenung, atas sikapnya.
Wejangan dan tekanan datang silih berganti, namun hanya sebatas isapan jempol bagi seorang Sherly. Ia tetap dengan cita-citanya untuk menyuarakan ke Pemerintah Pusat, dan berharap ditindaklanjuti, tanpa berpikir kondisi sosial, adat dan budaya Masyarakat setempat.
Sultan Tidore, H. Husain Syah, ikut angkat bicara dan siap berperang. Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, juga tak tinggal diam. Kedua tokoh pemilik sah wilayah Sofifi ini, lantas menolak adanya DOB Sofifi.
Dari pandangan Sultan, sepenggal tanah di jazirah Oba, adalah warisan leluhur yang harus dirawat untuk kemakmuran Rakyat. Ia tidak rela melepas sejingkal tanah itu, untuk kepentingan komersial para investor dikemudian hari.
Sultan mendesak ke Pemerintah Pusat, agar tidak gegabah dalam memutuskan persoalan DOB Sofifi. Sebab Tidore, sudah terlalu banyak berjasa untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, meminta Gubernur Sherly, agar dapat mempercantik wajah Ibukota, ketimbang berwacana soal DOB. Dimata Muhammad Sinen, Ibukota Sofifi sudah 26 tahun tidak diperhatikan secara baik.
Dengan kerendahan hati, ia meminta kepada Sherly, selaku Gubernur Maluku Utara, agar dapat melakukan pengembangan Ibukota Sofifi, dan memperhatikan berbagai masalah Rakyat yang belum dituntaskan. Seperti ruas jalan yang berstatus Provinsi di Kecamatan Oba Selatan.
Meskipun sikap tegas menolak DOB Sofifi, namun sebagai pimpinan Pemerintahan di Kota Tidore, Muhammad Sinen, bersedia membuka ruang bagi siapa saja, yang menginginkan adanya DOB Sofifi untuk berdiskusi.
Ia bahkan memberi petunjuk, dan memastikan bahwa pintu gedung Wakil Rakyat (DPRD) Kota Tidore terbuka lebar, untuk warganya menyampaikan pendapat.
Berulang kali ia menyebut, bahwa DOB itu, butuh proses politik di parlemen dan keputusan yang final dari daerah induk.
Sebagai inisiator atau penggagas DOB, harusnya memiliki konsep yang telah diisyaratkan dalam UU 23 Tahun 2014. Dengan begitu, Pemerintah Kota Tidore, akan menindaklanjuti ke Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk diusulkan ke Pemerintah Pusat.
Akibat sikap Sherly yang terkesan arogan, memicu letupan dari tanah para raja. Puncaknya, ditanggal 23 Juli 2025, Kantor Gubernur Maluku Utara menjadi saksi bisu, atas terjadinya konflik saudara.
Peristiwa menyedihkan ini, seolah menempatkan Negara telah gagal memproduksikan UU 23 Tahun 2014, khususnya pasal 33 sampai pasal 48.
Perdebatan kembali tak terelakan. Konflik saudara, menjadi bahan olok-olokan untuk sesama warga saling menjatuhkan. Dinding media sosial diwarnai dengan Hujatan, cacian dan makian, tanpa memandang etika dalam berdemokrasi.
Beruntung, Sultan Tidore, bertindak cepat dan menemui Kementrian Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, untuk memastikan status DOB Sofifi.
Melalui pertemuan singkat, usai wisuda angkatan ke 32 di IPDN Jatinangor, pada tanggal 23 Juli 2025. Mendagri mengatakan, Ibukota Sofifi tak perlu DOB. Statemen ini, seolah menampar wajah Gubernur Maluku Utara, untuk kembali menata Ibukota Sofifi dengan baik.
Pernyataan mendagri itu, kemudian diunggah dalam potongan video berdurasi 2 menit 12 detik, dan disebarkan melalui medsos. Bahkan berbagai media ikut mengambil peran untuk mencerahkan publik, yang nyaris hilang kendali.
Meski begitu, Sesama warga mulai saling melapor ke ranah hukum, akibat insiden konflik saudara. DOB yang seharusnya lahir sesuai dengan amanat konstitusi, malah berujung luka dan duka. Sherly masih saja diam membisu.
Ia terus meyakinkan publik Maluku Utara, bahwa apa yang dilakukan sudah benar. Tak peduli berapa banyak korban yang mengalami luka, akibat wacana yang dimunculkan.
Tepat di tanggal 28 Juli 2025. Tibalah Komisi II DPR RI di tanah para Raja (Sofifi, Tidore Kepulauan). Lembaga yang nantinya melegitimasi DOB ini, dipimpin oleh Rifqinizamy Karsayuda, selaku Ketua Komisi.
Dihadapan Sherly dan Warga pendukung DOB Sofifi yang tergabung dalam aliansi Majelis Rakyat Kota Sofifi (Markas). Rifqinizamy, menegaskan, pemekaran sofifi tidak bisa dilakukan secara instan.
Proses pembentukan DOB, harus mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sebelum dimekarkan menjadi suatu Kota, DOB wajib berstatus Daerah persiapan selama 3 Tahun.
Selama masa itu, pemerintah akan menilai apakah daerah tersebut layak dimekarkan berdasarkan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kualitas layanan publik, dan dampaknya terhadap daerah induk.
Ia pun menutup orasinya dengan satu permintaan kepada warga pendukung DOB, untuk tetap bersabar.
Pernyataan yang disampaikan Ketua Komisi II ini, membuat Sherly tertegun, dan mungkin menutupi rasa bersalah. Karena jalan yang ia pilih, membuat sesama warga Kota Tidore nyaris adu jotos dan baku lempar. Bahkan pihak keamanan seperti polisi ikut menjadi korban.
Namun, bukan seorang Sherly jika mudah menyerah begitu saja. Ia bukannya meminta maaf atas wacana yang dibangun sehingga melahirkan konflik saudara. Malah berdalih, dengan mengembalikan keputusan DOB ke pemerintah pusat untuk berdiskusi dan menentukan status wilayah Ibukota Sofifi.
Ia seolah amnesia akan isyarat UU 23 Tahun 2014 pasal 37, huruf b yang meliputi Keputusan Musyawarah Desa yang akan menjadi cakupan wilayah Kabupaten/Kota, dan Persetujuan bersama DPRD Kabupaten/Kota induk, dengan Bupati/Wali Kota Daerah induk.
Alih-alih meminta maaf, Gubernur Sherly malah kembali memberi surga telinga untuk rakyatnya, dengan mendatangkan anggaran, guna membangun Ibukota Sofifi. Seolah-olah Rakyat Maluku Utara tidak memahami peran daripada Pemerintah Provinsi.
Padahal, sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, langkah itu, merupakan kewajiban dan tanggungjawab Gubernur Maluku Utara beserta jajarannya.
Sherly harusnya menyadari benar akan posisinya, ia bukan lagi sekedar seorang ibu rumah tangga atau pengusaha konglomerat. Melainkan seorang Kepala Daerah yang berkewajiban untuk mengayomi, melindungi dan melayani rakyatnya tanpa memandang Suku, Agama, Ras dan Golongan tertentu.
Sehingga di masa kepemimpinannya, sukses membuat Masyarakat, khususnya di wilayah Ibukota Sofifi, hidup sejahtera, merasa nyaman, aman dan menikmati pelayanan infrastruktur, seperti pasar baru, rumah sakit, air bersih, hingga jaringan telekomunikasi yang telah ia janjikan. Bukan kegaduhan, yang nyaris mengorbankan warganya dibalik jeruji besi.
Dalam konteks ini, penulis menyarankan agar Gubernur Sherly, sepatutnya meminta maaf kepada publik Maluku Utara secara terbuka. Gubernur harusnya mampu membangun komunikasi, dan kolaborasi yang baik dengan 10 Kabupaten/Kota di Maluku Utara, tanpa memandang latar belakang politik.
Gubernur, sudah harus mengevaluasi jajarannya di lingkup Pemerintah Provinsi Maluku Utara, yang terkesan kaku dan malas tau dalam menyelesaikan problem DOB melalui jalur birokrasi.
Gubernur Sherly, juga harus membuka diri atas saran dan kritikan yang kontsruktif, untuk kepentingan Maluku Utara, tanpa harus tunduk pada kepentingan politik, kekuasaan dan mungkin pengusaha konglomerat.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak keamanan, baik TNI dan Polri yang setia menjaga kedamaian dan persatuan di bumi Maluku Kie Raha (Maluku Utara).
Diakhir tulisan, penulis ingin menutup dengan satu kalimat bijak yang disampaikan seorang ulama besar dan juga Presiden Republik Indonesia ke 4. Yakni, KH. Abdurrahman Wahid, atau yang dikenal dengan sebutan Gus Dur.
Ia bilang, "tidak penting apapun agama atau sukumu, jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak pernah tanya apa agamamu,"
Waullahul Muwafiq Ilaa Aqwamit Thariq.
#Rakyat Wajib Sejahtera.
#Merdeka 100 Persen.**