Ancaman Korupsi Intai Bupati Halmahera Barat di Proyek RS Pratama

Sebarkan:
Dr. Hendra Karianga. Foto: Samsul/cermat.
TERNATE - Pemindahan lokasi pembangunan Rumah Sakit Pratama (RSP) Loloda oleh Bupati Halmahera Barat, Jems Uang, dinilai bukan sekadar kebijakan keliru, melainkan tindakan yang sarat pelanggaran hukum dan berpotensi kuat menyeret tindak pidana korupsi.

Peringatan keras itu disampaikan praktisi hukum Maluku Utara, Hendra Karianga.

Hendra, yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Halmahera serta Dosen Pascasarjana Universitas Khairun, menegaskan sejak awal Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan RSP Loloda dibangun di Desa Jano, Kecamatan Loloda Selatan, wilayah terpencil dan terisolir yang menjadi sasaran utama program nasional layanan kesehatan dasar.

“Pemindahan lokasi RSP ke Desa Soana Masungi, Kecamatan Ibu, merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Itu melanggar hukum administrasi negara dan berpotensi pidana,” tegas Hendra, Selasa (23/12/2025).

Proyek RSP Pratama Loloda, kata dia, dibiayai APBN Tahun 2024 sebesar Rp60 miliar, dengan alokasi Rp43 miliar untuk fisik, Rp7 miliar sarana dan prasarana, serta Rp10 miliar untuk alat kesehatan. Penetapan lokasi di Desa Jano disebutnya telah final dan tidak dapat diutak-atik secara sepihak oleh kepala daerah.

Hendra menegaskan, payung hukum pembangunan RSP adalah Permenkes RI Nomor 24 Tahun 2014 tentang Rumah Sakit Kelas D Pratama, yang secara eksplisit diperuntukkan bagi daerah terpencil, kepulauan, perbatasan, dan wilayah dengan akses layanan kesehatan terbatas.

“Bupati tidak memiliki kewenangan mengubah perencanaan yang sudah ditetapkan Pemerintah Pusat. Pemindahan lokasi sama dengan mengubah perencanaan nasional,” ujarnya.

Kondisi proyek di lapangan kian memprihatinkan. RSP Loloda yang dikerjakan PT Mayang Mandala Putra dengan masa kontrak 280 hari kalender sejak 25 Maret 2024, kini telah melewati dua siklus anggaran (2024–2025) dan bangunannya dinyatakan mangkrak.

“Ini pelanggaran serius. Pengelolaan keuangan negara tidak boleh melewati tahun fiskal, kecuali kontrak multiyears. Fakta di lapangan menunjukkan proyek ini gagal total,” kata Hendra.

Indikasi kejanggalan administratif pun terbuka lebar. Berdasarkan data aplikasi KRISNA dan OM-SPAN, pada 28 Oktober 2024 dana Rp11,2 miliar telah dicairkan, sementara dokumen administrasi keuangan masih mencantumkan lokasi Desa Jano, Kecamatan Loloda, bukan lokasi hasil pemindahan.

Lebih jauh, LHP BPK Perwakilan Maluku Utara Nomor 15/A/LHP/XIX/05/2025 tertanggal 26 Mei 2025 mengungkap fakta telak: Pemda Halmahera Barat belum menguasai lahan lokasi RSP, padahal anggaran pembebasan lahan Rp507,5 juta sudah dicairkan. Realisasi fisik proyek tercatat Rp17 miliar dari pagu Rp43 miliar.

“Bukti pertanggungjawaban keuangan tidak ditemukan secara memadai. Ini indikasi kuat kerugian negara,” tegasnya.

Atas kondisi itu, Hendra mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk tidak menutup mata dan segera melakukan penyelidikan serta penyidikan menyeluruh, termasuk meminta audit investigatif BPK atau BPKP guna menghitung total kerugian negara.

“Korupsi RSP Loloda ini dilakukan secara terang-terangan. Negara dirugikan, masyarakat Loloda dikorbankan, proyek mangkrak, dan uang rakyat raib. Penegakan hukum harus tegas, tidak pandang bulu,” pungkasnya.

Hingga berita ini dipublis, tanggapan resmi dari Pemda Halbar belum di dapatkan* (Red)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini