Eksekutif Wilayah LMND Maluku Utara usai menyerahkan proposal Manifesto Pendidikan ke Pemkot dan DPRD Ternate pada Rabu, 1 Oktober 2023. (Foto: Anto) |
Oleh: Eksekutif Nasional LMND
Revisi paradigmatis harus dilakukan untuk memastikan sistem pendidikan nasional selaras dengan cita-cita kemerdekaan. Cita-cita itu sangat jelas, Indonesia menjadi bangsa yang cerdas sekaligus berkeadilan sosial, damai, dan merdeka. Sistem pendidikan nasional pun menjadi sarana untuk mencapainya. Paradigma pendidikan nasional harus dialihkan dari pendidikan kapitalistis menjadi pendidikan emansipatoris sebagaimana amanat pembukaan konstitusi. Hal ini sesuai dengan definisi Althusserian yang memahami pendidikan sebagai salah satu aparatus ideologi negara, namun dalam definisi yang positif. Tidak seperti Althusser yang memandang negara beserta aparatusnya secara pesimis, kami melihat negara sebagaimana dipahami dalam konstitusi secara optimis. Negara Republik Indonesia dalam teks pembukaan konstitusi adalah negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat (demokrasi) berbasis sila-sila dalam Pancasila. Kami memandang demokrasi yang menjadi ciri utama negara tidak identik dengan demokrasi liberal seperti dianut oleh negara-negara barat yang hanya melindungi kebebasan sipil dan politik, tidak pula demokrasi rakyat negeri-negeri berhaluan komunis seperti Tiongkok atau Kuba yang memprioritaskan kesejahteraan umum namun mengabaikan kebebasan sipil dan politik. Demokrasi yang dianut negara Republik Indonesia adalah demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi dan prinsip-prinsip seperti penghormatan pada kebebasan beragama, kemanusiaan, dan persatuan bangsa.
Konsep negara Indonesia selanjutnya diturunkan pada pasal-pasal dalam konstitusi. Demokrasi politik terartikulasi dalam pasal-pasal mengenai pembatasan kekuasaan melalui pemisahan kekuasaan dengan prinsip chek and balances ke dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu pemerintahan (eksekutif), perwakilan (legislatif), dan kehakiman (yudikatif). Selanjutnya, pasal-pasal tentang partai-partai politik pemilihan umum secara reguler, pemilihan presiden secara langsung, dan pembatasan masa jabatan presiden. Meski belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan membangun partisipasi aktif rakyat, namun konsep kekuasaan dalam konstitusi relatif memberi kesempatan bagi gerakan rakyat untuk meluaskan ruang-ruang partisipasi melalui prosedur konstitusional. Demokrasi ekonomi sendiri terartikulasi ke dalam pasal-pasal tentang perekonomian dan kesejahteraan. Perekonomian disusun sebagai suatu usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Para founding people menginterpretasikan pasal tersebut sebagai perekonomian berbasis koperasi. Dengan kata lain, koperasilah seharusnya yang menjadi motor utama perekonomian Indonesia. Cabang-cabang usaha yang bersifat strategis dikuasai negara guna memastikan rakyat memperoleh manfaat sebesar-besarnya. Demikian pula dengan sumber daya alam pun dikuasai oleh negara. Sementara pasar kapitalistis berada dalam kontrol negara. Implikasinya, perekonomian Indonesia yang dicita-citakan bukanlah perekonomian kapitalis seperti saat ini. Terdapat pula pasal yang menjamin kesejahteraan bagi kaum miskin dan anak-anak yang terlantar. Berdasarkan karakteristik negara dalam kerangka konstitusi tersebut, pendidikan emansipatoris dapat dimengerti sebagai suatu pendidikan konstitusional yang mengabdi sepenuhnya sebagai aparatus negara dan berfungsi dalam mencapai cita-cita kemerdekaan yaitu keadilan sosial, kemerdekaan, perdamaian abadi, kesejahteraan umum, ketertiban dunia, dan sila-sila dalam Pancasila. Sebagian fungsi pendidikan konstitusional telah dijalankan dalam praktik pendidikan nasional dewasa ini. seperti keterlibatan pendidikan dalam usaha memajukan kesejahteraan umum melalui ketersambungan (link and match) dengan pasar kerja. Namun langkah tersebut tereduksi ke dalam penciptaan kondisi yang timpang. Selain itu fungsi-fungsi fundamental lainnya, terutama keadilan sosial belum dilakukan.
Karena itu, pendidikan emansipatoris adalah antithesis dari pendidikan kapitalistis yang lebih condong bekerja sebagai aparatus pasar kerja ketimbang sebagai aparatus ideologi negara. Sebagai contoh, seorang pejabat pemerintah pernah mengeluhkan tidak kembalinya mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa belajar di luar negeri. Pejabat itu menyebut para mahasiswa tersebut tidak nasionalis. Pendidikan saat ini dalam cara yang tidak langsung memang hanya mengindoktrinasi peserta didik untuk loyal dan berorientasi pada pasar kerja ketimbang pada bangsa. Dapat dipahami mahasiswa-mahasiswa tersebut memilih bekerja (baca: menjual tenaga dan keterampilannya) pada pihak yang menawarkan pembelian (upah) yang lebih menguntungkan ketimbang mengabdi pada negara. Pendidikan emansipatoris akan mengambil tanggung jawab dalam memastikan para peserta didik menjadi aktor-aktor yang dapat mengubah realitas sosial yang timpang bertransformasi ke arah masyarakat yang adil dan makmur. Aktor-aktor yang dapat menjadi pemimpinan pergerakan dalam mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam bidang politik dan ekonomi. Fungsi sekaligus tujuan pendidikan emansipatoris pun dapat dirumuskan ke dalam beberapa pokok rumusan: 1. Sarana transformasi sosial melalui usaha menghadirkan pandangan-pandangan kritis, kreatif, dan konstruktif terhadap berbagai permasalahan yang hadir dalam realitas sosial; 2. Pendidikan memastikan penguasaan secara utuh ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan bakat dan minat dari peserta didik; 3. Pendidikan karakter yang saat ini telah dijalankan secara parsial dan tidak spesifik mengarah pada cita-cita kemerdekaan dapat disempurnakan baik konsep maupun pelaksanaannya. Target dari penyelenggaraan pendidikan karakter adalah terkonstruksinya pemahaman diri peserta didik sebagai aktor perubahan sekaligus pemimpin-pemimpin pergerakan merealisasikan cita-cita kemerdekaan; 4. Pendidikan tinggi menjadi ruang kontestasi gagasan sekaligus perumusan jalan keluar bagi persoalan-persoalan rakyat sehingga memiliki keharusan mengambil bagian aktif dalam gerak negara mengatasi persoalan tersebut; 5. Pendidikan menjadi bagian integral dari perjuangan membangun peradaban yang humanis, berkeadilan sosial, sejahtera, bervisi global dan berbasis perkembangan teknologi; 6. Membentuk masyarakat relijius yang inklusif dan menolak segala bentuk sektarianisme golongan.
Penyelenggaraan pendidikan emansipatoris dilakukan secara sistematis dan dalam satu kesatuan dengan dasar prinsip-prinsip berikut: 1. Subjektifikasi peserta didik. Peserta didik menjadi pusat dari keseluruhan proses pembelajaran, bukan lagi sebagai objek melainkan ditransformasikan menjadi partisipan aktif; 2. Menjunjung tinggi kebenaran ilmiah; 3. Berorientasi kerakyatan. Pendidikan terselenggara sebagai bagian dari pemecahan masalah rakyat sekaligus diselenggarakan dengan cara-cara yang demokratis (permusyaratan atau deliberasi); 4. Pembelajaran terhubung dalam relasi yang dialogis yang memposisikan guru sebagai pamong yang berperan menuntun peserta didik dalam mencapai kodrat alamnya sebagai manusia Merdeka; 5. Pendidikan harus berorientasi pada terwujudnya cita-cita kemerdekaan, khususnya keadilan sosial. Karena itu pengorganisasian koperasi-koperasi yang mana seluruh elemen pendidikan (orang tua, guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik) adalah anggota yang setara merupakan hal pokok untuk diwujudkan; 6. Pendidikan memiliki watak inklusif yang terbuka dengan keberagaman atau kebhinekaan, perkembangan situasi dan keadaan, dan menentang sektarianisme serta diskriminasi dengan dasar apa pun; 7. Pembelajaran sepanjang hayat.
Pendidikan emansipatoris mencanangkan program strategis berikut; 1. Perombakan terhadap kurikulum yang sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan sebagaimana di atas; 2. Meluaskan otonomi pendidikan dalam batas fungsi, tujuan, dan prinsip pendidikan serta tetap dibiayai oleh negara. Artinya, otonomi berlaku pada bidang akademis dan keorganisasian; 3. Mendorong terbentuknya koperasi-koperasi semesta pada level pendidikan dasar, menengah dan tinggi dengan melibatkan seluruh elemen pendidikan dalam posisi yang setara. Tujuannya adalah mendukung kesejahteraan seluruh pihak dan menopang kemandirian satuan pendidikan; 4. Menjamin kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan melalui peningkatan anggaran; 5. Mencanangkan wajib belajar 16 tahun; 6. Peningkatan kesejahteraan mahasiswa melalui pembangunan asrama-asrama mahasiswa yang terintegrasi dengan lingkungan sosial sekitar dan berorientasi pemberdayaan masyarakat sekitar. Asrama mahasiswa ini terkait pula dengan pengembangan karakter; 7. Mendukung peningkatan kualitas pendidik melalui program pengembangan dan pelatihan; 8. Mengorganisasikan suatu dewan pendidikan yang mengartikulasikan tri pusat pendidikan (keluarga, satuan pendidikan, dan organisasi kepemudaan); 9. Link and match dengan badan-badan usaha milik negara melalui pembukaan program magang seluas-luasnya; 10. Peningkatan kuota beasiswa luar negeri sebsar 150.000 mahasiswa; 11. Membangun budaya dan sistem pendidikan yang resisten terhadap praktik kekerasan seksual, kekerasan mental (perundungan, perpeloncoan, dan sejenisnya), dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dapat mengganggu pertumbuhan jasmani dan rohani peserta didik; 12. Memberantas segala bentuk praktik intoleransi dan diskriminasi berbasis golongan apa pun.**