Buruh Dikhianati, FNPBI Bongkar Dugaan Kompromi Dewan Pengupahan Maluku Utara

Sebarkan:
Ketua Wilayah FNPBI Maluku Utara, Pangky Manoy.
MALUT - Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku Utara Tahun 2026 berubah menjadi panggung telanjang dugaan kompromi elit. Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Provinsi Maluku Utara secara terbuka melayangkan mosi tidak percaya dan kecaman keras terhadap keputusan yang menetapkan UMP sebesar Rp3.408.000—angka yang dinilai sebagai legalisasi upah murah di tengah ledakan ekonomi daerah.

Ketua Wilayah FNPBI Maluku Utara, Pangky Manoy, menyebut keputusan tersebut bukan kesalahan teknis, melainkan produk sadar dari dugaan persekongkolan struktural yang melibatkan Dewan Pengupahan.

“Ini bukan salah hitung. Ini pengkhianatan sadar terhadap realitas hidup buruh,” tegas Pangky kepada Kabarhalmahera.com, Selasa, 30 Desember 2025.

FNPBI menilai jurang antara pertumbuhan ekonomi Maluku Utara dan kenaikan upah buruh telah menjadi ironi yang tak lagi bisa ditoleransi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Utara mencatatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 35 persen per tahun, bahkan menembus 39,10 persen pada Triwulan III 2025—tertinggi secara nasional. Namun, kenaikan UMP justru ditambatkan pada angka pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 5,04 persen.

“Maluku Utara juara pertumbuhan ekonomi nasional, tapi buruhnya dipaksa hidup dengan standar nasional yang stagnan. Kenaikan upah 3 persen di tengah pertumbuhan 35 persen adalah bentuk penghinaan terbuka terhadap keringat buruh,” kata Pangky.

Dalam sikap resminya, FNPBI secara terang menunjuk keterlibatan oknum serikat pekerja di Dewan Pengupahan yang dinilai telah kehilangan arah perjuangan. Penggunaan angka pertumbuhan nasional untuk daerah dengan lonjakan ekonomi ekstrem disebut tidak ilmiah, tidak rasional, sekaligus manipulatif. Persetujuan terhadap UMP Rp3.408.000 ketika Kebutuhan Hidup Layak (KHL) telah mencapai Rp4.431.339 dipandang sebagai pengabaian sistematis terhadap hak hidup layak.

“Serikat pekerja yang duduk di Dewan Pengupahan justru lebih loyal pada stabilitas angka statistik nasional ketimbang penderitaan buruh lokal. Ini loyalitas ganda yang mencederai mandat perjuangan,” ujarnya.

Ia menegaskan, keberadaan serikat buruh sejatinya untuk berhadapan dengan kepentingan modal, bukan menjadi alat legitimasi kebijakan yang menekan kelas pekerja.

“Serikat buruh/pekerja dibentuk untuk bertarung demi kesejahteraan anggotanya, bukan menjadi stempel pembenaran bagi kepentingan pemodal. Mereka yang duduk di Dewan Pengupahan dan menyetujui rumus ini telah kehilangan legitimasi moral di hadapan ribuan pekerja/buruh di Maluku Utara,” tegasnya.

Atas kondisi tersebut, FNPBI Maluku Utara mengajukan empat tuntutan terbuka: Pertama, menolak keras dan mengajukan surat keberatan resmi kepada Gubernur Maluku Utara atas SK UMP 2026 yang dinilai cacat keadilan karena tidak berpijak pada pertumbuhan ekonomi daerah dan KHL.

Kedua, menyatakan mosi tidak percaya terhadap perwakilan serikat pekerja di Dewan Pengupahan yang diduga melakukan kompromi politik dengan mengabaikan data riil pertumbuhan ekonomi Maluku Utara.

Ketiga, menuntut audit total dan pertanggungjawaban terbuka atas representasi serikat pekerja di Dewan Pengupahan. Keempat, menyerukan konsolidasi perlawanan buruh secara independen dan menolak tunduk pada elit serikat yang dianggap telah berkompromi dengan kepentingan modal.

“Jangan biarkan pertumbuhan ekonomi 35 persen hanya dinikmati investor di hotel berbintang, sementara buruh di garis depan tambang dan pabrik dipaksa bertahan hidup dengan upah yang jauh di bawah standar layak,” kata Pangky.

“Perlawanan ini tidak akan berhenti sampai keadilan upah dikembalikan kepada pemilik keringat,” tadasnya.

Hingga berita di tayang Dewan Pengupahan belum memberikan tanggapan resmi.* (Red)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini