![]() |
| Mobil rujukan pasien guru di Loloda saat menerjang banjir. (Warga) |
MP, guru sepuh berusia 68 tahun dari SD Negeri Ngajam, Kecamatam Loloda Utara, Halmahera Utara terpaksa berjuang melawan penyakitnya—diare, anemia, dan dehidrasi—sambil menggantungkan harapan pada ambulans yang menembus jalanan rusak menuju RSUD Tobelo. Namun harapan itu perlahan surut, seiring roda ambulans yang semakin tenggelam dalam lumpur.
Tiga jam yang seharusnya cukup untuk menyelamatkan nyawa, berubah menjadi delapan jam perjalanan panjang di atas jalur yang tak layak disebut jalan.
Rekaman yang Membuat Dada Sesak
Di media sosial, video yang merekam detik-detik upaya penyelamatan itu kini beredar luas. Dalam sorotan lampu yang goyah, tampak tenaga medis Puskesmas Doruma dan warga setempat bergulat dengan medan yang seperti menolak untuk dilalui: lubang-lubang besar yang menelan roda kendaraan, tanjakan yang licin seperti kaca, hingga aliran sungai yang memutus akses utama menuju fasilitas kesehatan.
Setiap meter yang dilewati terasa seperti pertaruhan baru. Suara instruksi tenaga medis bercampur dengan debur air sungai dan desah warga yang mendorong ambulans. Namun semua perjuangan itu akhirnya tak lagi berarti ketika tubuh lemah MP menyerah sebelum tiba di rumah sakit.
Loloda yang Terabaikan Sejak Kemerdekaan
Tragedi ini sontak menghidupkan kembali amarah dan keprihatinan publik Maluku Utara. Salah satu yang paling lantang bersuara adalah Dr. Hendra Karianga, SH., MH, akademisi, advokat, sekaligus tokoh masyarakat Loloda yang selama ini menjadi penjaga suara masyarakat terpinggirkan.
Bertahun-tahun sebelum musibah ini terjadi, Hendra telah berulang kali mengingatkan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Barat, hingga Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengenai pentingnya membangun ruas jalan penghubung Halut–Halbar yang membelah wilayah Loloda. Namun peringatan itu seperti hilang di tikungan jalan yang tak pernah terperbaiki.
“Sejak kemerdekaan, daerah ini belum pernah ada pembangunan jalan. Dan peristiwa guru SD Desa Ngajam adalah bukti nyata dampak buruknya infrastruktur,” ujar Hendra, suaranya berat menahan kecewa.
Ia menggambarkan bahwa keterisolasian Loloda bukan sekadar persoalan akses ekonomi atau keterlambatan pembangunan, tetapi persoalan keselamatan manusia—sebuah harga yang tidak seharusnya dibayar oleh siapa pun.
Seruan yang Ditujukan pada Presiden dan Gubernur
Dalam surat terbuka yang ia kirimkan, Hendra meminta perhatian Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda agar segera menaruh prioritas pada pembangunan jalan dan jembatan di empat kecamatan wilayah Loloda: Loloda Utara, Loloda Kepulauan, Loloda Tengah, dan Loloda Selatan.
Ia menilai bahwa selama ini pemerintah daerah hanya menempatkan kebutuhan dasar masyarakat Loloda sebagai catatan kecil dalam RKPD dan RPJMD—dokumen yang rutin disusun setiap tahun, tetapi tak kunjung menghasilkan perubahan nyata.
“Saya mewakili aspirasi masyarakat Loloda, memohon kepada Presiden agar jeritan hati masyarakat empat kecamatan ini dapat didengar,” tegasnya.
Dieksploitasi, Tetapi Tidak Pernah Diprioritaskan
Hendra juga menyoroti ironi lain yang menyesakkan: Loloda sering menjadi objek eksploitasi sumber daya dan permainan politik, tetapi ketika berbicara tentang pembangunan dasar, wilayah ini seolah selalu berada di urutan paling belakang.
Menurutnya, tragedi yang menimpa MP bukan sekadar kecelakaan tragis, melainkan akibat dari kebijakan yang abai dan ketidakpedulian panjang yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Alarm Keras yang Tidak Boleh Lagi Diabaikan
Kematian guru sepuh itu kini menjadi pengingat keras bahwa infrastruktur bukan sekadar proyek fisik, tetapi penentu hidup-mati warga. Ketika akses dasar tidak dipenuhi, maka setiap orang yang tinggal di Loloda hidup dalam ketidakpastian—bahkan saat mereka membutuhkan pertolongan medis yang paling mendesak.
Kasus ini kembali menyeret pemerintah daerah dan pusat ke hadapan cermin: sampai kapan Loloda harus menunggu, dan berapa banyak nyawa lagi yang harus hilang sebelum jalan yang dijanjikan itu benar-benar dibangun?.*
