Pentabalan Pemangku Adat Kerajaan Loloda Siap Digelar di Utara Halmahera

Sebarkan:
Ketua Panitia Pentabalan, Fahrul Ali.
HALUT - Di jantung Utara Halmahera, denyut sejarah kembali dipanggil pulang. Paguyuban Kerajaan Loloda bersama Panitia Pentabalan Pemangku Adat Kerajaan Loloda Tingkat Soa/Desa bersiap menggelar agenda sakral yang menandai kebangkitan nilai-nilai adat dan identitas leluhur. Pentabalan akan berlangsung pada Rabu, 17 Desember 2025, terpusat di Desa Galao dan Desa Gisi, wilayah Kecamatan Loloda Utara dan Loloda Timur, Kabupaten Halmahera Utara.

Momentum adat ini dirancang bukan sekadar seremoni, melainkan peristiwa budaya yang mempertemukan masa lalu, masa kini, dan harapan masa depan.

Ketua Panitia Pentabalan, Fahrul Ali, menyampaikan bahwa kegiatan ini direncanakan akan dihadiri sejumlah tokoh penting daerah.

“Jika tidak berhalangan, pentabalan ini akan dihadiri Wakil Bupati Halmahera Utara Dr. Kasman Hi. Ahmad, S.Ag., M.Pd., Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku Utara Nazlatan Ukhra Kasuba, B.HS., Ketua Fraksi Gerindra DPRD Halmahera Utara Muhammad Iksan Wan, S.IP., para Camat Loloda Utara dan Loloda Timur, serta seluruh perwakilan perangkat adat dari Desa Igo hingga Desa Apulea,” ujar Fahrul.

Loloda bukan sekadar nama wilayah. Ia adalah jejak peradaban. Kawasan ini tercatat unik karena berada di dua wilayah administrasi—Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat—namun secara historis merupakan satu kesatuan adat yang utuh. Dalam catatan sejarah Maluku Utara, Loloda dikenal sebagai kerajaan tertua, berdiri sejak tahun 1220, dengan sebutan “Ngara Mabeno”, yang bermakna pintu bagian utara atau gerbang masuk.

Pelantikan Dewan Adat Kerajaan Loloda tingkat Desa/Soa di Desa Gisi dan Desa Galao ini juga menjadi bagian dari Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Tahap II Tahun 2025 yang didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXI—sebuah pengakuan resmi atas pentingnya Loloda dalam peta kebudayaan nasional.

Sejarah Loloda tak hanya tertulis dalam prasasti waktu, tetapi juga dalam perlawanan. Catatan Batavia tahun 1909 merekam perjuangan para kapita Loloda sebagai tonggak keteguhan sebuah kerajaan. Sebelum dan sesudah kemerdekaan, Loloda kerap tampil sebagai agen perubahan. Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan teknologi era milenial, masyarakat Loloda justru kerap terpinggirkan dari akses program-program pemerintahan.

Tekanan ekonomi dan kebijakan yang tak berpihak membuat masyarakat Loloda seolah “berenang di atas lautan penderitaan”, berjuang mempertahankan hidup dan identitasnya. Sebuah ironi, ketika cita-cita kemerdekaan sejatinya adalah menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Karena itu, melalui pentabalan ini, Ketua Pelantikan Dewan Adat Kerajaan Loloda, Fahrul Ali, menyuarakan harapan besar.

Ia berharap ke depan ada sentuhan nyata program penguatan kebudayaan dari Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, hingga Pemerintah Pusat. Bukan sekadar simbol, tetapi keberpihakan yang nyata—agar nilai-nilai adat dan budaya Loloda tetap hidup, terjaga, dan lestari di tanahnya sendiri. Di Loloda, adat bukan masa lalu. Ia adalah napas yang terus diperjuangkan.*
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini