Terungkap! Dugaan Otak Dibalik Pergub 'Siluman' Tunjangan DPRD Malut Rp60 Juta per Bulan

Sebarkan:
Ilustrasi konspirasi pembuatan Perda. ( Istimewa)
MALUT - Dua nama kembali mencuat dalam dugaan skandal tunjangan jumbo DPRD Maluku Utara. Mantan Ketua DPRD Kuntu Daud dan mantan Sekwan Abubakar Abdullah disebut-sebut sebagai penggerak awal lahirnya Pergub Nomor 7 Tahun 2019—produk aturan yang diduga menjadi pintu masuk pengaliran tunjangan superfantastis bagi anggota dewan.

Informasi ini dibocorkan seorang pejabat Pemprov Maluku Utara kepada jurnalis Media Grup (MG) belum lama ini. Pejabat tersebut, yang memilih merahasiakan identitasnya, menyebut angka tunjangan yang mengalir ke tiap anggota DPRD: Rp60 juta per bulan, selama satu periode, 2019–2024.

Totalnya menggunung hingga Rp147,1 miliar—angka yang disebutnya sebagai “lubang anggaran paling mencolok” yang pernah terjadi.

“Sekwan sebagai KPA jelas merancang, menyusun, dan mengusulkan anggaran sebesar itu, dan Gubernur Abdul Gani Kasuba menyetujuinya,” ungkap pejabat tersebut.

Ploting anggaran dilakukan sistematis selama lima tahun. Kuntu Daud, kala itu menjabat Ketua DPRD, disebut berperan memastikan seluruh skema berjalan mulus hingga dana raksasa itu masuk ke rekening para anggota dewan.

Hingga berita ini diturunkan, kedua pihak yang disebut—Kuntu Daud dan Abubakar Abdullah—masih bungkam saat dihubungi via telepon.

Sebelumnya, praktisi hukum Agus Tampilang, SH, secara tegas menilai aliran tunjangan Rp60 juta per bulan kepada anggota dewan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan sadar.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini perampokan negara yang dibungkus regulasi. PP 18/2017 sudah mengatur tunjangan DPRD, lalu kenapa diterbitkan lagi Pergub yang menabrak PP? Ini skema yang harus dibongkar,” tegasnya.

Agus menegaskan, Pergub tidak boleh mengatur ulang hal yang sudah diatur dalam PP. Menurutnya, Pergub 7/2019 justru menunjukkan adanya desakan kepentingan untuk meloloskan skema tunjangan jumbo.

“Kalau PP sudah atur, Pergub tidak punya ruang lagi. Jadi kalau Pergub ini tetap dipaksakan, ada kepentingan besar yang ingin mengamankan aliran uang,” katanya.

Ia mendesak Kejaksaan Tinggi untuk tidak ragu menjerat para aktor di balik skema tersebut sebagai tersangka. Menurutnya, tindakan itu bukan hanya bertentangan dengan UU Tipikor, tetapi juga UU Perbendaharaan Negara.

Tak hanya itu, Agus menyoroti waktu penerbitan Pergub: di tengah pandemi Covid-19, saat masyarakat mengalami tekanan ekonomi dan pemerintah daerah disebut sedang “berdarah-darah” menghadapi krisis.

“Jika benar Pergub ini lahir di tengah Covid, itu bukan sekadar penyimpangan—itu tindakan tak bermoral yang layak disebut kejahatan luar biasa. Ini harus dibongkar habis,” tegasnya.(*)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini