Kabar Duka dari Sumatera: Korban Jiwa Bencana Banjir Bertambah Jadi 604 Orang

Sebarkan:
Evakuasi orban Banjir di Sumatera 2025 (Istimewa)
SUMATERA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan jumlah korban meninggal akibat bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera bertambah menjadi 604 orang.

Dikutib dari Kompas.com penambahan jumlah korban jiwa tersebut diketahui berdasarkan data di situs Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB), Senin (1/12/2025), yang ter-update pada pukul 17.00 WIB.

"Sumatera Utara 283 jiwa, Sumatera Barat 165 jiwa dan Aceh 156 jiwa," tertulis data di situs Pusatin BNPB, dikutip Senin.

Adapun rinciannya, sebanyak 156 orang meninggal dunia, korban hilang 181 orang dan korban luka 1.800 di Aceh.

Kemudian, korban meninggal sebanyak 165 orang, korban hilang 114 orang, dan 112 orang terluka di Sumatera Barat.

Sementara jumlah korban di Sumatera Utara mencapai 283 jiwa, 169 orang hilang, dan 613 orang terluka.

Data Pusdatin BNPB juga mengungkapkan setidaknya sebanyak 3.500 rumah rusak berat, 4.100 rumah rusak sedang, 20.500 rumah rusak ringan.

Data ini pun terus di-update secara berkala. "Jembatan rudak 271 unit hingga 282 fasilitas pendidikan rusak," jelas data tersebut.

Fenomena banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, diindikasikan sebagai dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah.

Hal tersebut diungkapkan peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB).

Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Dr Muhammad Rais Abdillah menjelaskan, wilayah Sumatera bagian utara saat ini sedang berada pada puncak musim hujan.

"Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya," ujar Rais dalam rilisnya, Jumat (28/11/2025).

Curah Hujan Lebat

Rais menambahkan bahwa curah hujan selama periode ini tergolong sangat lebat. Data lapangan dan laporan media menunjukkan, beberapa wilayah mencatat curah hujan lebih dari 150 milimeter.

Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan lebih dari 300 milimeter, yang dikategorikan sebagai curah hujan ekstrem.

Sebagai perbandingan, curah hujan ekstrem di Jakarta pada awal Januari 2020 mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari, yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek.

Fenomena Atmosfer Perkuat Hujan Ekstrem

Menurut Rais, fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem ini menunjukkan adanya pusaran atau sirkulasi siklonik di sekitar wilayah Sumatera bagian utara.

"Pada tanggal 24 November sudah mulai terlihat adanya sistem yang berputar dari Semenanjung Malaysia. Dalam meteorologi, kita menyebutnya sebagai vortex, meskipun saat itu masih berupa bibit dan matanya belum terlihat jelas," jelasnya.

Sistem ini kemudian berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat.

Meskipun tidak sekuat siklon di Samudra Hindia atau Pasifik, sistem ini cukup untuk meningkatkan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, dan memperluas cakupan presipitasi di Sumatera bagian utara.

Kerusakan Lingkungan

Pakar Geospasial ITB, Dr Heri Andreas menilai, kerusakan lingkungan, perubahan tutupan lahan, dan menurunnya kapasitas tampung wilayah menjadi faktor penting yang memperburuk dampak banjir.

"Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah," jelasnya.

Heri menambahkan, kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang telah berubah fungsi menjadi permukiman atau perkebunan.

"Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir," ujarnya.

Ia menyarankan, penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sangat penting untuk mitigasi jangka panjang.

"Peta bahaya dan risiko banjir yang kita miliki saat ini belum optimal, karena masih terbatas oleh data geospasial yang akurat dan pemodelan yang komprehensif," tambahnya.

Mitigasi Banjir

Upaya mitigasi banjir, menurut Heri, tidak dapat hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik seperti tanggul atau normalisasi sungai, tetapi juga harus disertai pendekatan non-struktural yang lebih komprehensif.

"Perlindungan kawasan resapan air alami seperti hutan, rawa, dan sempadan sungai dinilai sangat penting untuk menjaga kapasitas wilayah dalam menyerap air dan mengurangi limpasan," tegasnya.

Sementara itu, Rais menekankan pentingnya sistem peringatan dini yang tidak hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga komunikatif dan mudah dipahami oleh masyarakat.

"Prediksi cuaca dan potensi bencana harus dapat diterjemahkan menjadi informasi praktis yang menjawab kebutuhan warga, seperti kapan dan area mana yang berpotensi terdampak serta langkah antisipasi yang harus dilakukan," ujarnya.

Bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi mulai tanggal 24 November 2025 hingga kini telah menimbulkan dampak kerusakan yang luas.* (Kompas.com)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini